Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
telah memberitahukan bahwa setiap ketetapan yang diputuskan oleh Allah Subhanahu wa-ta'ala
terhadap orang-orang muslim yang sabar atas cobaan dan bersyukur atas
kegembiraan maka hal itu baik baginya. Sebagaimana firman-Nya:
“Sungguh, pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak
bersyukur.”(QS. Ibrahim:5)
Adapun orang yang tidak sabar atas cobaan dan tidak bersyukur
pada saat lapang, maka apa yang diputuskan Allah Subhanahu wa-ta'ala
bukanlah sesuatu yang baik baginya.
Syaikh Al
‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa manusia dalam menghadapi takdir
Allah Subhanahu wa-ta'ala
yang berupa kesenangan dan kesulitan terbagi menjadi dua, yaitu kaum beriman
dan kaum yang tidak beriman.
Adapun orang
yang beriman bagaimanapun kondisinya selalu baik baginya. Apabila dia tertimpa
kesulitan maka dia bersabar dan tabah menunggu datangnya jalan keluar dari Allah Subhanahu wa-ta'ala serta mengharapkan pahala dengan kesabarannya itu. Dengan demikian dia
memperoleh pahala orang-orang yang sabar. Maka ini baik baginya.
Sedangkan
apabila seorang mukmin menerima nikmat diniyah maupun duniawiyah maka dia
bersyukur yaitu dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala
. Karena syukur bukan saja mencakup ucapan syukur di mulut saja, akan tetapi
harus dilengkapi dengan melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala.
Sehingga orang yang beriman memiliki dua nikmat ketika mengalami kesenangan
yaitu nikmat dunia dengan merasa senang dan nikmat diniyah dengan bersyukur.
Sehingga inipun baik bagi dirinya.
Adapun orang
kafir, mereka berada dalam keadaan yang buruk sekali, wal ‘iyaadzu billaah.
Apabila tertimpa kesulitan mereka tidak mau bersabar, bahkan tidak mau terima,
memprotes takdir, mendoakan kebinasaan, mencela masa dan caci maki lainnya.
Sedangkan
apabila mendapatkan kesenangan dia tidak bersyukur kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala.
Maka kesenangan yang dialami oleh orang-orang kafir di dunia ini kelak di
akhirat akan berubah menjadi siksaan. Karena orang kafir itu tidaklah menyantap
makanan atau menikmati minuman kecuali dia pasti mendapatkan dosa karenanya.
Meskipun hal itu bagi orang mukmin tidak dinilai dosa, akan tetapi lain halnya
bagi orang kafir.
Hal
ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa-ta'ala :
“Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan
Allah dan rezeki yang baik-baik yang
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Katakanlah: itu semua adalah untuk
orang-orang yang beriman di dalam kehidupan dunia yang akan diperuntukkan untuk
mereka saja pada hari kiamat.” (QS.Al A’raaf: 32).
Sehingga semua
rezeki tersebut diperuntukkan bagi kaum beriman saja pada hari kiamat nanti.
Adapun orang-orang yang tidak beriman maka nikmat itu bukan menjadi hak mereka.
Mereka memakannya padahal itu haram bagi mereka dan pada hari kiamat nanti
mereka akan disiksa karenanya. Sehingga bagi orang kafir kesenangan maupun
kesulitan adalah sama-sama buruknya, wal ‘iyaadzu billaah.
1.
BERSYUKUR
Bersyukur adalah berterimakasih atas sesuatu kebaikan atau
hal yang mengemberikan, seperti bersyukur kepada orang tua dan bersyukur kepada
manusia yang telah berbuat baik kepadanya. Karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
telah bersabda:
“Siapa yang tidak
bersyukur kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala.”(HR. Ahmad)
Namun pemberian yang diterima dari seseorang tidak boleh
digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Allah Subhanahu wa-ta'ala
berfirman:
“Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku,”(QS. Luqman: 15)
Karena pada hakikatnya, Dialah pemberi nikmat yang agung
yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk-Nya, nikmat yang diberikan oleh makhluk
juga pemberian dari-Nya. Allah Subhanahu wa-ta'ala
berfirman:
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka
dari Allah-lah (datangnya).”(QS, An
Nahl: 53)
"Dan dia telah menundukan untukmu apa yang di langit dan apa yang dibumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya."(QS. Al-Jaatsiyah: 13)
2. BERSYUKUR KEPADA ALLAH I
Dilihat dari berbagai
segi, maka segala kebaikan itu datangnya dari Allah Subhanahu wa-ta'ala dan keburukan
itu dari diri sendiri. Bagaimanapun kondisi seorang hamba, maka ia harus tetap
mensyukuri-Nya. Sebab Dia-lah yang paling berhak untuk disyukuri secara
sempurna dan tidak berharap kecuali hanya kepada-Nya. Segala yang ada pada
makhluk merupakan atas kendali dari diri-Nya, dan jika manusia mengetahui sebagaimana
firman-Nya:
“Apa saja diantara rahmat Allah Subhanahu wa-ta'ala yang
dianugerahkan kepada manusia, maka tidak ada yang dapat menahannya; dan apa
saja yang ditahan-Nya maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah
itu.”(QS. Fathir:2)
Niscaya mereka
hanya bertawakal dan berharap hanya kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala semata, serta
tidak takut kecuali hanya kepada-Nya. Sebagian ulama salaf berkata, “Seorang
hamba tidak mengharap kecuali kepada Rabb-nya, dan tidak ada yang ditakutinya
kecuali dosanya.”
Sebagaimana pula
diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya apa yang menimpa mereka(kaum muslimin) pada perang Uhud
adalah mutlak karena dosa mereka.”
3. KEUTAMAAN
ORANG KAYA YANG BERSYUKUR
“Orang-orang miskin (dari para sahabat
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam) pernah datang menemui beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam, lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang
berlimpah bisa mendapatkan kedudukan yang tinggi (di sisi Allah Subhanahu wa-ta'ala) dan kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka melaksanakan shalat
seperti kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami berpuasa,
tapi mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan
ibadah haji, umrah, jihad dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta…“.
Dalam
riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Itu
adalah karunia (dari) Allah Subhanahu wa-ta'ala yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya“
Hadits
yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang kaya yang memanfaatkan
kekayaannya untuk meraih takwa kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala, dengan
menginfakkan hartanya di jalan yang diridhai-Nya.
Imam
Ibnu Hajar al-’Asqalani berkata, “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang
menunjukkan) lebih utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allah Subhanahu wa-ta'ala) pada (harta) kekayaannya dibandingkan orang miskin,
karena berinfak di jalan Allah I (seperti
yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang kaya”
(Kitab “Fathul Baari” 3/298).
4.
SABAR
Sabar
adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba
akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam
menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala
sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id,
hal. 95)
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah
meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala, menahannya dari
perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah
dalam menghadapi takdir Allah Subhanahu wa-ta'ala….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Allah Subhanahu wa-ta'ala
berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu...” (QS. Ali-lmran:200)
Dan:
"Niscayalah
Kami akan memberikan cobaan sedikit kepadamu semua seperti ketakutan,
ketaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, kemudian sampaikaniah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155)
Dan:
" Sesungguhnya Hanya orang-orang
yang Bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Dan:
" Tetapi orang yang bersabar dan mema'afkan,
Sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.”
(QS. As-Syura: 43)
Dan:
“Mintalah
pertolongan dengan sabar dan mengerjakan shalat sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang sabar." (QS.
Al-Baqarah: 153)
Dan:
"Dan
sesungguhnya Kami hendak menguji kepadamu semua, sehingga Kami dapat mengetahui
siapa di antara engkau semua itu yang benar-benar berjihad dan siapa pula
orang-orang yang bersabar." (QS.
Muhammad: 31)
Ayat-ayat yang mengandung perintah untuk
bersabar dan yang menerangkan keutamaan sabar itu amat banyak sekali dan dapat
dimaklumi.
5.
MACAM-MACAM SABAR
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu
terbagi menjadi tiga macam:
1.
Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala.
2.
Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan
Allah Subhanahu wa-ta'ala.
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah Subhanahu wa-ta'ala yang
dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di
luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh
Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
5.1
BERSABAR DALAM KETAATAN KEPADA ALLAH Subhanahu wa-ta'ala
-
Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Syaikh
Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang
yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar,
kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus
bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian,
mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain
sebagainya.
Semoga
Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan
didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam
shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari
orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh
darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan
kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah Subhanahu wa-ta'ala.” (Taisirul
wushul, hal. 12-13)
-
Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu
Syaikh
Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus
bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia
melaksanakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah
niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya,
demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan
nenek moyang mereka.
Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan
terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan
kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan
agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah Subhanahu wa-ta'ala
sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul wushul,
hal. 13)
-
Sabar Dalam Berdakwah
Syaikh
Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama
Allah Subhanahu wa-ta'ala harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya,
karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah
bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang
kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”
Sehingga
jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak
di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan
perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As
Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula
jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya
para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut
bergabung dengan kelompok mereka.
Mereka
semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi
mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.”
(Taisirul wushul, hal. 13-14)
5.2.
BERSABAR UNTUK TIDAK MELAKUKAN HAL-HAL YANG
DIHARAMKAN ALLAH Subhanahu wa-ta'ala
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seorang lelaki
berkata kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam :
"Berilah wasiat padaku." Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam . bersabda:
"Jangan marah." Orang itu mengutanginya berkali-kali tetapi beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam tetap
bersabda: "janganlah marah." (HR. Bukhari)
Keterangan:
Yang perlu dijelaskan sehubungan dengan Hadis ini
ialah:
(a) Orang yang
bertanya itu menurut riwayat ada yang mengatakan dia itu ialah Ibnu Umar t , ada yang
mengatakan Haritsah t atau
Abuddarda' t. Mungkin
juga memang banyak yang bertanya demikian itu.
(b) Kita
dilarang marah ini apabila berhubungan dengan sesuatu yang hanya mengenai hak
diri kita sendiri atau hawa nafsu. Tetapi kalau berhubungan dengan hak-hak
Allah Subhanahu wa-ta'ala , maka
wajib kita pertahankan sekeras-kerasnya, misalnya agama Allah dihina orang,
al-Quran diinjak-injak atau dikencingi,
alim ulama diolok-olok padahal tidak
bersalah dan lain-lain sebagainya.
(c) Yang
bertanya itu mengulangi berkali-kali seolah-olah meminta wasiat yang lebih
penting, namun beliau tidak menambah apa-apa. Hal ini kerana menahan marah itu
sangat besar manfaat dan faedahnya. Cobalah kalau kita ingat-ingat, bahwa
timbulnya semua kerusakan di dunia ini sebagian besar ialah karena manusia ini
tidak dapat mengekang hawa nafsu dan syahwatnya, tidak suka menahan marah,
sehingga menimbulkan darah mendidih dan akhirnya ingin menghantam dan membalas
dendam.
Dari
Mu'az bin Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang menahan marahnya padahal ia kuasa untuk meneruskannya - melaksanakannya - maka Allah Subhanahu wa-ta'ala mengundangnya
di hadapan kepala - yakni disaksikan -sekalian makhluk pada hari kiamat, sehingga
disuruhnya orang itu memilih bidadari-bidadari yang membelalak matanya dengan sesuka
hatinya." (HR. Abu Dawud dan At
Tirmidzi)
Dari
Abu Yahya yaitu Usaid bin Hudhair Radhiyallahu ‘anhu . bahwasanya ada seorang lelaki
dari kaum Anshar berkata: "Ya Rasulullah, mengapakah tuan tidak menggunakan
saya sebagai pegawai, sebagaimana tuan juga menggunakan si Fulan dan Fulan itu?" Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam . lalu
bersabda: "Sesungguhnya engkau semua akan menemui sesudahku nanti suatu
cara mementingkan diri sendiri - sedang orang lain lebih berhak untuk memperolehnya,
maka dari itu bersabarlah, sehingga engkau semua menemui aku di telaga - pada
hari kiamat." (HR. Muttafaq 'alaih)
5.3.
BERSABAR
DALAM MENGHADAPI TAKDIR-TAKDIR
Syaikh
Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari
macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan
Allah Subhanahu wa-ta'ala serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu
gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan
melainkan Allah Subhanahu wa-ta'ala lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar
menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa,
anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut
ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Apabila Allah Subhanahu wa-ta'ala
menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah Subhanahu wa-ta'ala segerakan hukuman atas
dosanya di dunia. Dan apabila Allah Subhanahu wa-ta'ala
menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah Subhanahu wa-ta'ala
tahan hukuman atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (HR. At
Tirmidzi)
Syaikhul Islam
mengatakan, “Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat. Karena ia menjadi
sebab dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang
tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap kembali
taat dan merendahkan diri di hadapan Allah I
serta memalingkan ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai
maslahat agung lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan
oleh Allah Subhanahu wa-ta'ala
sebagai sebab penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang
paling agung. Maka seluruh musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat
bagi keseluruhan makhluk, kecuali apabila musibah itu menyebabkan orang yang
tertimpa musibah menjadi terjerumus dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada
maksiat yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia
menjadi keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang musibah yang menimpa
agamanya.”
Dari Abu Yahya,
yaitu Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu ‘anhu
, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Amat mengherankan sekali keadaan orang
mu'min itu, sesungguhnya semua keadaannya itu adalah merupakan kebaikan baginya
dan kebaikan yang sedemikian itu tidak akan ada lagi seseorangpun melainkan
hanya untuk orang mu'min itu belaka, yaitu apabila ia mendapatkan kelapangan
hidup, iapun bersyukur-lah, maka hal itu adalah kebaikan baginya,sedang apabila
ia ditimpa oleh kesukaran - yakni yang merupakan bencana - iapun bersabar dan
hal inipun adalah merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
0 comments:
Post a Comment