Apa saja amalan shalih
yang bisa dilakukan saat turun hujan? Berikut Muslim.Or.Id sarikan dari
berbagai penjelasan ulama.
Segala puji bagi Allah, pada
saat ini Allah telah menganugerahkan kita suatu karunia dengan menurunkan hujan
melalui kumpulan awan. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَرَأَيْتُمُ
الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ (68) أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ
أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ (69)
”Maka terangkanlah kepadaku
tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau Kamikah yang
menurunkannya?” (QS. Al Waqi’ah [56] : 68-69)
Begitu juga firman Allah Ta’ala,
وَأَنْزَلْنَا
مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14)
”Dan Kami turunkan dari awan
air yang banyak tercurah.” (QS. An Naba’ [78] : 14)
Allah Ta’ala juga
berfirman,
فَتَرَى
الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ
”Maka kelihatanlah olehmu
hujan keluar dari celah-celahnya.” (QS. An Nur [24] : 43) yaitu dari
celah-celah awan.[1]
Merupakan tanda kekuasaan
Allah Ta’ala, kesendirian-Nyadalam menguasai dan mengatur alam
semesta, Allah menurunkan hujan pada tanah yang tandus yang tidak tumbuh
tanaman sehingga pada tanah tersebut tumbuhlah tanaman yang indah untuk
dipandang. Allah Ta’ala telah mengatakan yang demikian dalam
firman-Nya,
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الأرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ
اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan di antara
tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila
Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan
Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat [41] : 39). Itulah hujan,
yang Allah turunkan untuk menghidupkan tanah yang mati. Sebagaimana pembaca
dapat melihat pada daerah yang kering dan jarang sekali dijumpai air seperti
Gunung Kidul, tatkala hujan itu turun, datanglah keberkahan dengan mekarnya
kembali berbagai tanaman dan pohon jati kembali hidup setelah sebelumnya kering
tanpa daun. Sungguh ini adalah suatu kenikmatan yang amat besar.
Berikut beberapa amalan shalih
saat turun hujan:
[1] Keadaan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam Tatkala Mendung
Ketika muncul mendung,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khawatir,
jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah. Dari Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau berkata,
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى نَاشِئاً فِي أُفُقٍ
مِنْ آفَاِق السَمَاءِ، تَرَكَ عَمَلَهُ- وَإِنْ كَانَ فِي صَلَاةٍ- ثُمَّ
أَقْبَلَ عَلَيْهِ؛ فَإِنْ كَشَفَهُ اللهُ حَمِدَ اللهَ، وَإِنْ مَطَرَتْ قَالَ:
“اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً”
”Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam apabila melihat awan (yang belum berkumpul
sempurna, pen) di salah satu ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya
–meskipun dalam shalat- kemudian beliau kembali melakukannya lagi (jika hujan
sudah selesai, pen). Ketika awan tadi telah hilang, beliau memuji Allah. Namun,
jika turun hujan, beliau mengucapkan, “Allahumma shoyyiban nafi’an”
[Ya Allah jadikanlah hujan ini sebagi hujan yang bermanfaat].”[2]
’Aisyah radhiyallahu ’anha berkata,
كَانَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا رَأَى مَخِيلَةً فِى السَّمَاءِ أَقْبَلَ
وَأَدْبَرَ وَدَخَلَ وَخَرَجَ وَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ ، فَإِذَا أَمْطَرَتِ
السَّمَاءُ سُرِّىَ عَنْهُ ، فَعَرَّفَتْهُ عَائِشَةُ ذَلِكَ ، فَقَالَ النَّبِىُّ
– صلى الله عليه وسلم – « مَا أَدْرِى لَعَلَّهُ كَمَا قَالَ قَوْمٌ ( فَلَمَّا
رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ ) »
”Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam apabila melihat mendung di langit, beliau beranjak
ke depan, ke belakang atau beralih masuk atau keluar, dan berubahlah raut wajah
beliau. Apabila hujan turun, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam mulai
menenangkan hatinya. ’Aisyah sudah memaklumi jika beliau melakukan seperti itu.
Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallammengatakan, ”Aku tidak
mengetahui apa ini, seakan-akan inilah yang terjadi (pada Kaum ’Aad)
sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), ”Maka tatkala mereka melihat azab
itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka.” (QS. Al Ahqaf [46] : 24)”[3]
Ibnu Hajar mengatakan, ”Hadits
ini menunjukkan bahwa seharusnya seseorang menjadi kusut pikirannya jika ia
mengingat-ingat apa yang terjadi pada umat di masa silam dan ini merupakan
peringatan agar ia selalu merasa takut akan adzab sebagaimana ditimpakan kepada
mereka yaitu umat-umat sebelumnya.”[4]
[2] Mensyukuri Nikmat Turunnya
Hujan
Apabila Allah memberi nikmat
hujan, dianjurkan bagi seorang muslim dalam rangka bersyukur kepada-Nya untuk
membaca do’a,
اللَّهُمَّ
صَيِّباً ناَفِعاً
“Allahumma shoyyiban
naafi’aa [Ya Allah, turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].”
Itulah yang Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam ucapkan ketika melihat turunnya hujan. Hal ini
berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً »
”Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan,
”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami
hujan yang bermanfaat]”.[5]
Ibnu Baththol mengatakan,
”Hadits ini berisi anjuran untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan
keberkahan semakin bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.”
Al Khottobi mengatakan, ”Air
hujan yang mengalir adalah suatu karunia.”[6]
[3] Turunnya Hujan, Kesempatan
Terbaik untuk Memanjatkan Do’a
Ibnu Qudamah dalam Al
Mughni[7]mengatakan,
”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اُطْلُبُوا
اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ،
وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
’Carilah do’a yang mustajab
pada tiga keadaan : [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat
dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.”[8]
Begitu juga terdapat hadits dari
Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
ثِنْتَانِ مَا
تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ
“Dua do’a yang tidak akan
ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.”[9]
[4] Ketika Terjadi Hujan Lebat
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam suatu saat pernah meminta diturunkan hujan.
Kemudian ketika hujan turun begitu lebatnya, beliau memohon pada Allah agar
cuaca kembali menjadi cerah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,
اللَّهُمّ
حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ
وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
“Allahumma haawalaina wa laa
’alaina. Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil
awdiyati, wa manaabitisy syajari [Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami,
bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung,
bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].”[10]
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Ketika
hujan semakin lebat, para sahabat meminta pada Nabishallallahu ’alaihi wa
sallam supaya berdo’a agar cuaca kembali menjadi cerah. Akhirnya
beliau membaca do’a di atas.”[11]
Syaikh Sholih As Sadlan
mengatakan bahwa do’a di atas dibaca ketika hujan semakin lebat atau
khawatir hujan akan membawa dampak bahaya.[12]
[5] Mengambil Berkah dari Air
Hujan
Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu berkata, ”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullahshallallahu
’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap
bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah,
mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى
“Karena hujan
ini baru saja Allah ciptakan.”[13]
An Nawawi menjelaskan, “Makna
hadits ini adalah hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh
Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallambertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.”[14]
An Nawawi selanjutnya
mengatakan, ”Dalam hadits ini terdapat dalil bagi ulama Syafi’iyyah tentang
dianjurkannya menyingkap sebagian badan (selain aurat) pada awal turunnya
hujan, agar terguyur air hujan tersebut. Dan mereka juga berdalil dari hadits
ini bahwa seseorang yang tidak memiliki keutamaan, apabila melihat orang yang
lebih berilmu melakukan sesuatu yang ia tidak ketahui, hendaknya ia
menanyakannya untuk diajari lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya pada
yang lain.”[15]
Dalam hal mencari berkah dengan
air hujan dicontohkan pula oleh sahabat Ibnu ‘Abbas. Beliau berkata,
أَنَّهُ كَانَ
إِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ، يَقُوْلُ: “يَا جَارِيَّةُ ! أَخْرِجِي سَرْجِي،
أَخْرِجِي ثِيَابِي، وَيَقُوْلُ: وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكاً
[ق: 9].
”Apabila turun hujan, beliau
mengatakan, ”Wahai jariyah keluarkanlah pelanaku, juga
bajuku”.” Lalu beliau membacakan (ayat) [yang artinya], ”Dan Kami
menurunkan dari langit air yang penuh barokah (banyak manfaatnya).” (QS.
Qaaf [50] : 9)” [16]
[6] Dianjurkan Berwudhu dengan Air Hujan
Ibnu Qudamah mengatakan,
”Dianjurkan untuk berwudhu dengan air hujan apabila airnya mengalir deras.”[17]
Dari Yazid bin Al Hadi, apabila
air yang deras mengalir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan,
اُخْرُجُوا
بِنَا إلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ اللَّهُ طَهُورًا ، فَنَتَطَهَّرَمِنْهُ
وَنَحْمَدَ اللّهَ عَلَيْهِ
”Keluarlah kalian bersama
kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk
bersuci.” Kemudian kami bersuci dengan air tersebut dan memuji Allah
atas nikmat ini.”[18]
Namun, hadits di atas adalah
hadits yang lemah karena munqothi’ (terputus sanadnya)
sebagaimana dikatakan oleh Al Baihaqi[19].
Ada hadits yang serupa dengan
hadits di atas dan shahih,
كَانَ
يَقُوْلُ إِذَا سَالَ الوَادِي ” أُخْرُجُوْا بِنَا إِلَى هَذَا الَّذِي جَعَلَهُ
اللهُ طَهُوْرًا فَنَتَطَهَّرُ بِهِ “
“Apabila air mengalir di lembah,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Keluarlah
kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat
untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.”[20]
[7] Janganlah Mencela Hujan
Sungguh sangat disayangkan
sekali, setiap orang sudah mengetahui bahwa hujan merupakan nikmat dari
Allah Ta’ala. Namun, ketika hujan dirasa mengganggu aktivitasnya,
timbullah kata-kata celaan, “Aduh!! hujan lagi, hujan lagi”.
Perlu diketahui bahwa setiap
yang seseorang ucapkan, baik yang bernilai dosa atau tidak bernilai dosa dan
pahala, semua akan masuk dalam catatan malaikat. Allah Ta’alaberfirman,
مَا يَلْفِظُ
مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
”Tiada suatu ucapanpun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
(QS. Qaaf [50] : 18)
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ
اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً ، يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ
الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا
بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya ada seorang
hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah
mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu. Dan ada juga seorang hamba
yang berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah
dipikirkan bahayanya lalu dia dilemparkan ke dalam jahannam.”[21]
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menasehatkan kita agar jangan selalu
menjadikan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa sebagai kambing hitam jika
kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti beliau melarang kita
mencela waktu dan angin karena kedua makhluk tersebut tidak dapat berbuat
apa-apa.
Dalam sebuah hadits qudsi,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Allah Ta’alaberfirman,
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ ، يَسُبُّ
الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ ، بِيَدِى الأَمْرُ ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ
“Manusia menyakiti Aku; dia
mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa,
Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.”[22]
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam juga bersabda,
لاَ تَسُبُّوا الرِّيحَ
”Janganlah kamu mencaci maki
angin.”[23]
Dari dalil di atas terlihat
bahwa mencaci maki masa (waktu) dan angin adalah sesuatu yang terlarang. Begitu
pula halnya dengan mencaci maki makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa,
seperti mencaci maki angin dan hujan adalah terlarang.
Larangan ini bisa
termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam)
jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari kejelekan yang terjadi.
Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik
dan buruk. Ini sama saja dengan menyatakan ada pencipta selain Allah. Namun,
jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut
bukan pelaku dan hanya sebagai sebab saja, maka seperti ini
hukumnya haram, tidak sampai derajat syirik. Dan apabila yang dimaksudkan
cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan, “Hari ini hujan deras,
sehingga kita tidak bisa berangkat ke masjid untuk shalat”, tanpa ada
tujuan mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa.[24]
Intinya, mencela hujan tidak
terlepas dari hal yang terlarang karena itu sama saja orang yang mencela hujan
mencela Pencipta hujan yaitu Allah Ta’ala. Ini juga menunjukkan
ketidaksabaran pada diri orang yang mencela. Sudah seharusnya lisan ini selalu
dijaga. Jangan sampai kita mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat Allah
murka. Semestinya yang dilakukan ketika turun hujan adalah banyak bersyukur kepada-Nya
sebagaimana telah diterangkan dalam point-point sebelumnya.
[8] Berdo’a Setelah Turunnya
Hujan
Dari Zaid bin Kholid Al Juhani,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat shubuh
bersama kami di Hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala
hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan, ”Apakah
kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?” Kemudian mereka
mengatakan,”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى
وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ
مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ
كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ »
“Pada pagi hari, di antara
hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ’Muthirna
bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan
rahmat Allah), makadialah yang beriman kepadaku dan kufur
terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza
wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka
dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.”[25]
Dari hadits ini terdapat dalil
untuk mengucapkan ‘Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita
diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah) setelah turun hujan sebagai tanda
syukur atas nikmat hujan yang diberikan.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin rahimahullah mengatakan, ”Tidak boleh bagi
seseorang menyandarkan turunnya hujan karena sebab bintang-bintang. Hal ini
bisa termasuk kufur akbar yangmenyebabkan seseorang keluar dari Islam
jika ia meyakini bahwa bintang tersebut adalah yang menciptakan hujan. Namun
kalau menganggap bintang tersebut hanya sebagai sebab, maka seperti ini
termasuk kufur ashgor (kufur yang tidak menyebabkan seseorang keluar
dari Islam). Ingatlah bahwa bintang tidak memberikan pengaruh terjadinya hujan.
Bintang hanya sekedar waktu semata.”[26]
Demikian beberapa amalan yang
bisa diamalkan ketikan hujan turun. Hanya Allah yang memberi taufik.
(*) Pembahasan di atas dicuplik
dari buku karya penulis “Panduan Amalan Shalih
di Musim Hujan” yang telah diterbitkan Pustaka Muslim.
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Lihat Majmu’
Al Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 24/262, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[2] Lihat Adabul
Mufrod no. 686, dihasankan oleh Syaikh Al Albani
[3] HR.
Bukhari no. 3206
[4]Fathul
Bari Syarh Shohih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al ’Asqolani Asy Syafi’i, 6/301,
Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H
[5] HR.
Bukhari no. 1032, Ahmad no. 24190, dan An Nasai no. 1523.
[6] Syarh
Al Bukhari, Ibnu Baththol, 5/18, Asy Syamilah.
[7]Al
Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hambal Asy Syaibani, Ibnu Qudamah Al
Maqdisi, 2/294, Darul Fikr, Beirut, cetakan pertama, 1405 H.
[8] Dikeluarkan
oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al
Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih. Lihat Shohihul Jaami’ no. 1026.
[9] HR.
Al Hakim dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Lihat Shohihul Jaami’ no. 3078.
[10] HR.
Bukhari no. 1014.
[11]Zaadul
Ma’ad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/439, Muassasah Ar Risalah, cetakan
ke-14, tahun 1407 H.
[12] Lihat
Dzikru wa Tadzkir, Sholih As Sadlan, hal. 28, Asy Syamilah.
[13] HR.
Muslim no. 898.
[14]Syarh
Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 6/195, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy,
cetakan kedua, 1392 H.
[15]Syarh
Muslim, 6/196.
[16] Lihat
Adabul Mufrod no. 1228. Syaikh Al Albani mengatakan sanad hadits ini shohih dan
hadits ini mauquf [perkataan sahabat].
[17]Al
Mughni, 2/295.
[18] Dikeluarkan
oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro (3/359) dan Tuhfatul Muhtaj (1/567).
Dikeluarkan pula oleh An Nawawi dalam Al Khulashoh (2/884) dan Ibnu Katsir
dalam Irsyadul Faqih (1/216) [dinukil dari http://dorar.net ].
Lihat pula Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 1/439. Hadits ini adalah
hadits yang lemah karena munqothi’ yaitu ada sanad yang
terputus.
[19] Syaikh
Al Albani dalam Dho’if Al Jaami’ no. 4416 mengatakan bahwa
hadits ini dho’if.
[20] HR.
Muslim, Abu Daud, Al Baihaqi, dan Ahmad. Lihat Irwa’ul Gholilno.
679. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[21] HR.
Bukhari no. 6478.
[22] HR.
Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246, dari Abu Hurairah.
[23] HR.
Tirmidzi no. 2252, dari Abu Ka’ab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih.
[24] Faedah
dari guru kami Ustadz Abu Isa hafizhohullah. Lihat buah pena
beliau “Mutiara Faedah Kitab Tauhid”, hal. 227-231, Pustaka Muslim,
cetakan pertama, Jumadal Ula 1428 H.
[25] HR.
Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71, dari Kholid Al Juhaniy.
[26]Kutub
wa Rosa’il Lil ‘Utsaimin, 170/20, Asy Syamilah.
Diambil dari : Artikel Muslim.Or.Id
0 comments:
Post a Comment