Oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Sesungguhnya
manusia adalah makhluk yang lemah dan sangat butuh pada pertolongan Allah dalam
setiap urusan-Nya. Yang mesti diyakini bahwa manusia tidak mengetahui perkara
yang ghoib. Manusia tidak mengetahui manakah yang baik dan buruk pada kejadian
pada masa akan datang. Oleh karena itu, di antara hikmah Allah Ta’ala
kepada hamba-Nya, Dia mensyariatkan do’a supaya seorang hamba dapat bertawasul
pada Rabbnya untuk dihilangkan kesulitan dan diperolehnya kebaikan.
Seorang
muslim sangat yakin dan tidak ada keraguan sedikit pun bahwa yang mengatur
segala urusan adalah Allah Ta’ala. Dialah yang menakdirkan dan menentukan
segala sesuatu sesuai yang Dia kehendaki pada hamba-Nya.
Allah
Ta’ala berfirman,
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (68) وَرَبُّكَ
يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ (69) وَهُوَ اللَّهُ لَا
إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآَخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ
وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (70)
“Dan
Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada
pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka
persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan
(dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dialah Allah, tidak ada
Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan
di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu
dikembalikan.” (QS. Al Qashash: 68-70)
Al
‘Allamah Al Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Sebagian ulama
menjelaskan: tidak sepantasnya bagi orang yang ingin menjalankan di antara
urusan dunianya sampai ia meminta pada Allah pilihan dalam urusannya tersebut
yaitu dengan melaksanakan shalat istikhoroh.”[1]
Yang
dimaksud istikhoroh adalah memohon kepada Allah manakah yang terbaik dari
urusan yang mesti dipilih salah satunya.[2]
Dalil
Disyariatkannya Shalat Istikhoroh
Dari
Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ
أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ
مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ « إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ
رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى
أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ
فَضْلِكَ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ ،
وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الأَمْرَ
– ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ – خَيْرًا لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ –
قَالَ أَوْ فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – فَاقْدُرْهُ لِى ،
وَيَسِّرْهُ لِى ، ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ
أَنَّهُ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى
عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِىَ الْخَيْرَ
حَيْثُ كَانَ ، ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ »
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengajari para sahabatnya shalat
istikhoroh dalam setiap urusan. Beliau mengajari shalat ini sebagaimana beliau
mengajari surat dari Al Qur’an. Kemudian beliau bersabda, “Jika salah seorang
di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat
dua raka’at selain shalat fardhu, lalu hendaklah ia berdo’a: “Allahumma
inni astakhiruka bi ‘ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as-aluka min
fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta
‘allaamul ghuyub. Allahumma fa-in kunta ta’lamu hadzal amro (sebut nama urusan
tersebut) khoiron lii fii ‘aajili amrii wa aajilih (aw fii diinii wa ma’aasyi
wa ‘aqibati amrii) faqdur lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi.
Allahumma in kunta ta’lamu annahu syarrun lii fii diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati
amrii (fii ‘aajili amri wa aajilih) fash-rifnii ‘anhu, waqdur liil khoiro
haitsu kaana tsumma rodh-dhinii bih”
Ya
Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon
kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan
kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu
melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang
mengetahui perkara yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara
ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat,
(atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal
tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika
Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan
akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka
palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga
aku pun ridho dengannya.”[3]
Faedah
Mengenai Shalat Istikhoroh
Pertama:
Hukum shalat istikhoroh adalah sunnah dan bukan wajib. Dalil dari hal ini
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ
مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ
“Jika
salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka
kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat fardhu”
Begitu
pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah didatangi seseorang,
lalu ia bertanya mengenai Islam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Shalat lima waktu sehari semalam.” Lalu ia
tanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهَا قَالَ « لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ »
“Apakah
aku memiliki kewajiban shalat lainnya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
menjawab, “Tidak ada, kecuali jika engkau ingin menambah dengan shalat
sunnah.”[4]
Kedua:
Dari hadits di atas, shalat istikhoroh boleh dilakukan setelah shalat tahiyatul
masjid, setelah shalat rawatib, setelah shalat tahajud, setelah shalat Dhuha
dan shalat lainnya.[5] Bahkan jika shalat istikhoroh dilakukan dengan niat
shalat sunnah rawatib atau shalat sunnah lainnya, lalu berdoa istikhoroh
setelah itu, maka itu juga dibolehkan. Artinya di sini, dia mengerjakan shalat
rawatib satu niat dengan shalat istikhoroh karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ
مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ
“Jika
salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka
kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat fardhu.” Di sini cuma
dikatakan, yang penting lakukan shalat dua raka’at apa saja selain shalat
wajib. [6]
Al
‘Iroqi mengatakan, “Jika ia bertekad melakukan suatu perkara sebelum ia menunaikan
shalat rawatib atau shalat sunnah lainnya, lalu ia shalat tanpa niat shalat
istikhoroh, lalu setelah shalat dua rakaat tersebut ia membaca doa istikhoroh,
maka ini juga dibolehkan.”[7]
Ketiga:
Istikhoroh hanya dilakukan untuk perkara-perkara yang mubah (hukum
asalnya boleh), bukan pada perkara yang wajib dan sunnah, begitu pula bukan
pada perkara makruh dan haram. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ
أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengajari para sahabatnya shalat istikhoroh
dalam setiap urusan.” Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abi Jamroh bahwa
yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah khusus walaupun lafazhnya umum.[8]
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan
hadits tersebut bahwa istikhoroh hanya khusus untuk perkara mubah atau dalam
perkara sunnah (mustahab) jika ada dua perkara sunnah yang bertabrakan, lalu
memilih manakah yang mesti didahulukan.”[9]
Contohnya,
seseorang tidak perlu istikhoroh untuk melaksanakan shalat Zhuhur, shalat
rawatib, puasa Ramadhan, puasa Senin Kamis, atau mungkin dia istikhoroh untuk
minum sambil berdiri ataukah tidak, atau mungkin ia ingin istikhoroh untuk
mencuri. Semua contoh ini tidak perlu lewat jalan istikhoroh.
Begitu
pula tidak perlu istikhoroh dalam perkara apakah dia harus menikah ataukah
tidak. Karena asal menikah itu diperintahkan sebagaimana dalam firman Allah
Ta’ala,
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ
عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan.” (QS. An Nur: 32)
Begitu
pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ
“Wahai
para pemuda, jika salah seorang di antara kalian telah mampu untuk memberi
nafkah, maka menikahlah.”[10] Namun dalam urusan memilih pasangan dan
kapan tanggal nikah, maka ini bisa dilakukan dengan istikhoroh.
Sedangkan
dalam perkara sunnah yang bertabrakan dalam satu waktu, maka boleh dilakukan istikhoroh.
Misalnya seseorang ingin melakukan umroh yang sunnah, sedangkan ketika itu ia
harus mengajarkan ilmu di negerinya. Maka pada saat ini, ia boleh istikhoroh.
Bahkan
ada keterangan lain bahwa perkara wajib yang masih longgar waktu untuk
menunaikannya, maka ini juga bisa dilakukan istikhoroh. Semacam jika seseorang
ingin menunaikan haji dan hendak memilih di tahun manakah ia harus
menunaikannya. Ini jika kita memilih pendapat bahwa menunaikan haji adalah
wajib tarokhi (perkara wajib yang boleh diakhirkan).[11]
Keempat:
Istikhoroh boleh dilakukan berulang kali jika kita ingin istikhoroh pada Allah
dalam suatu perkara. Karena istikhoroh adalah do’a dan tentu saja boleh
berulang kali. Ibnu Az Zubair sampai-sampai mengulang istikhorohnya tiga kali.
Dalam shahih Muslim, Ibnu Az Zubair mengatakan,
إِنِّى مُسْتَخِيرٌ رَبِّى ثَلاَثًا ثُمَّ عَازِمٌ عَلَى
أَمْرِى
“Aku
melakukan istikhoroh pada Rabbku sebanyak tiga kali, kemudian aku pun bertekad
menjalankan urusanku tersebut.”[12]
Kelima:
Do’a shalat istikhoroh yang lebih tepat dibaca setelah shalat dan bukan di
dalam shalat. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ
مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ …
“Jika
salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka
kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat fardhu, lalu hendaklah ia berdo’a:
“Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika …”[13]
Syaikh
Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui
dalil yang shahih yang menyatakan bahwa do’a istikhoroh dibaca ketika sujud
atau setelah tasyahud (sebelum salam) kecuali landasannya adalah dalil yang
sifatnya umum yang menyatakan bahwa ketika sujud dan tasyahud akhir adalah
tempat terbaik untuk berdo’a. Akan tetapi, hadits ini sudah cukup sebagai dalil
tegas bahwa do’a istikhoroh adalah setelah shalat. ”[14]
Keenam:
Istikhoroh dilakukan bukan dalam kondisi ragu-ragu dalam satu perkara karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ
مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ
““Jika
salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka
kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat fardhu”. Begitu pula isi do’a
istikhoroh menunjukkan seperti ini. Oleh karena itu, jika ada beberapa pilihan,
hendaklah dipilih, lalu lakukanlah istikhoroh. Setelah istikhoroh, lakukanlah
sesuai yang dipilih tadi. Jika memang pilihan itu baik, maka pasti Allah mudahkan.
Jika itu jelek, maka nanti akan dipersulit.[15]
Ketujuh:
Sebagian ulama menganjurkan ketika raka’at pertama setelah Al Fatihah membaca
surat Al Kafirun dan di rakaat kedua membaca surat Al Ikhlas. Sebenarnya hal
semacam ini tidak ada landasannya. Jadi terserah membaca surat apa saja ketika
itu, itu diperbolehkan.[16]
Kedelepan:
Melihat dalam mimpi mengenai pilihannya bukanlah syarat dalam
istikhoroh karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal ini. Namun orang-0rang
awam masih banyak yang memiliki pemahaman semacam ini. Yang tepat, istikhoroh
tidak mesti menunggu mimpi. Yang jadi pilihan dan sudah jadi tekad untuk
dilakukan, maka itulah yang dilakukan.[17] Terserah apa yang ia pilih tadi,
mantap bagi hatinya atau pun tidak, maka itulah yang ia lakukan karena tidak
dipersyaratkan dalam hadits bahwa ia harus mantap dalam hati.[18] Jika memang
yang jadi pilihannya tadi dipersulit, maka berarti pilihan tersebut tidak baik
untuknya. Namun jika memang pilihannya tadi adalah baik untuknya, pasti akan
Allah mudahkan.
Tata
Cara Istikhoroh
Pertama:
Ketika ingin melakukan suatu urusan yang mesti dipilih salah satunya, maka
terlebih dahulu ia pilih di antara pilihan-pilihan yang ada.
Kedua:
Jika sudah bertekad melakukan pilihan tersebut, maka kerjakanlah shalat dua raka’at
(terserah shalat sunnah apa saja sebagaimana dijelaskan di awal).
Ketiga:
Setelah shalat dua raka’at, lalu berdo’a dengan do’a istikhoroh:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ ، وَأَسْتَقْدِرُكَ
بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ ،
وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ فَإِنْ
كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الأَمْرَ – ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ – خَيْرًا لِى فِى
عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – قَالَ أَوْ فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ
أَمْرِى – فَاقْدُرْهُ لِى ، وَيَسِّرْهُ لِى ، ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ،
اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى
وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْنِى
عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِىَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ، ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ
Allahumma
inni astakhiruka bi ‘ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as-aluka min
fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta
‘allaamul ghuyub. Allahumma fa-in kunta ta’lamu hadzal amro (sebut nama urusan
tersebut) khoiron lii fii ‘aajili amrii wa aajilih (aw fii diini wa ma’aasyi wa
‘aqibati amrii) faqdur lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Allahumma
in kunta ta’lamu annahu syarrun lii fii diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii
(fii ‘aajili amri wa aajilih) fash-rifnii ‘anhu, waqdur liil khoiro haitsu
kaana tsumma rodh-dhinii bih.
[Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku
beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan
kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau
yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu,
sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghoib. Ya Allah,
jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku
dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan
akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku
dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara
tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam
urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang
terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun ridho dengannya]
Keempat:
Lakukanlah pilihan yang sudah dipilih di awal tadi, terserah ia merasa mantap
atau pun tidak dan tanpa harus menunggu mimpi. Jika itu baik baginya, maka
pasti Allah mudahkan. Jika itu jelek, maka pasti ia akan palingkan ia dari
pilihan tersebut.
Demikian
penjelasan kami mengenai panduan shalat istikhoroh. Semoga bermanfaat.
Segala
puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan
di Pangukan-Sleman, di sore hari menjelang Maghrib, 15 Rabi’ul Awwal 1431 H
(01/03/2010)
***
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel
http://rumaysho.com
[1] Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an (Tafsir Al
Qurthubi), Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, 13/306, Mawqi’ Ya’sub
(sesuai cetakan).
[2]
Lihat Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/184, Darul Ma’rifah,
Beirut, 1379.
[3]
HR. Bukhari no. 7390, dari Jabir bin ‘Abdillah
[4]
HR. Bukhari no. 2678 dan Muslim no. 11, dari Tholhah bin ‘Ubaidillah.
[5]
Lihat Fiqhud Du’aa, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 167, Maktabah
Makkah, cetakan pertama, tahun 1422 H.
[6]
Faedah dari penjelasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/426, Al
Maktabah At Taufiqiyah. Begitu pula terdapat penjelasan yang sama dari Syaikh
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul dalam kitab beliau Bughyatul Mutathowwi’ fii
Sholatit Tathowwu’ (soft file).
[7]
Lihat Nailul Author, Asy Syaukani, 3/87, Irodatuth Thob’ah Al Muniroh.
[8]
Lihat Fathul Baari, 11/184.
[9]
Idem
[10]
HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.
[11]
Contoh-contoh ini kami peroleh dari Fiqhud Du’aa, hal. 167-168.
[12]
HR. Muslim no. 1333
[13]
Lihat Fiqhud Du’aa, hal. 168-169.
[14]
Fiqhud Du’aa, hal. 169.
[15]
Faedah dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul dalam Buhyatul
Mutathowwi’ (soft file).
[16]
Lihat Fiqhud Du’aa, hal. 169.
[17]
Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/427.
[18]
Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul dalam Buhyatul Mutathowwi’
(soft file).
Diambil
dari : salafiyunpad.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment