Di antara yang disunnahkan di bulan
Ramadhan adalah melakukan i’tikaf, yaitu berdiam diri di masjid dengan tujuan
supaya bisa berkonsentrasi dalam ibadah. Berikut keterangan Al Qodhi Abu Syuja’
mengenai i’tikaf.
Kata
Abu Syuja’ rahimahullah, “I’tikaf itu sunnah yang dianjurkan. Namun
disebut i’tikaf jika memenuhi dua syarat yaitu (1) berniat, (2) berdiam di
masjid.
Tidak
boleh keluar dari i’tikaf yang dinadzarkan kecuali jika ada kebutuhan atau ada
udzur semisal haidh atau sakit yang tidak mungkin berdiam di masjid.
I’tikaf
itu batal dengan berhubungan intim (bersenggama).”
Pengertian I’tikaf
I’tikaf
berarti tetap atau menetap pada suatu tempat. Sedangkan secara istilah berarti
berdiam di masjid yang dilakukan oleh orang tertentu dengan niat khusus. (Lihat
Al Iqna’, 1: 424).
Hukum I’tikaf
Hukum i’tikaf adalah sunnah
muakkad dan dianjurkan dilakukan di setiap waktu di Ramadhan atau selain
Ramadhan. Namun di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan lebih utama dari
hari lainnya karena dicarinya lailatul qadar pada malam tersebut. Lailatul
qadar hendaklah dihidupkan dengan shalat, membaca Al Qur’an, dan memperbanyak
do’a karena malam tersebut adalah malam yang utama dalam setahun. Allah Ta’ala
berfirman,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. ” (QS. Al Qadar: 3).
Maksudnya
adalah amalan pada malam lailatul qadar lebih baik adari amalan di 1000 bulan
yang tidak terdapat lailatul qadar. Sebagaimana kata Imam Syafi’i dan mayoritas
ulama, malam ini diperoleh pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan. Lihat
pembahasan dalam Al Iqna’, 1: 424-425.
Syarat I’tikaf
Syarat
i’tikaf sebagaimana disebutkan oleh Abu Syuja’ ada dua:
1-
Niat
Niat
cukup dalam hati sebagaimana dalam ibadah lainnya. Dituntut berniat jika
i’tikafnya wajib seperti berniat i’tikaf nadzar. Niat ini supaya bisa
membedakan dengan niatan nadzar sunnah. Jika i’tikafnya mutlak, yaitu tidak
dibatasi waktu tertentu, maka cukup diniatkan.
2-
Berdiam
Yang
dimaksud di sini adalah i’tikaf mesti berdiam di mana waktunya lebih dari waktu
yang dikatakan thuma’ninah dalam ruku’ dan lainnya. Imam Syafi’i menganjurkan
untuk melakukan i’tikaf sehari agar terlepas dari khilaf atau perselisihan para
ulama.
Ditambahkan
oleh Muhammad Al Khotib dalam Al Iqna’ yaitu syarat ketiga dan keempat.
3-
Berdiam di masjid
Hal
ini berdasarkan ayat dan ijma’ (kesepakatan para ulama). Adapun ayat adalah
firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).
Masjid
jami’ yang ditegakkan shalat Jum’at di dalamnya lebih utama daripada masjid
lainnya supaya yang melaksanakan i’tikaf tidak keluar untuk melaksanakan shalat
Jum’at di masjid lainnya. Akan tetapi, jika seseorang sudah berniat i’tikaf di
Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsho, maka tidak bisa diganti
dengan masjid lainnya karena keutamaan besar dari masjid tersebut.
4-
Syarat yang berkaitan dengan orang yang beri’tikaf yaitu Islam, berakal, suci
dari hadits besar
Tidak Keluar dari Masjid Selama I’tikaf
Yang
menjalani i’tikaf tidak boleh keluar dari masjid selama i’tikafnya adalah
i’tikaf nadzar, atau i’tikaf yang sudah diniatkan selama waktu tertentu. Hanya
boleh keluar dari masjid jika ada kebutuhan mendesak seperti kencing, buang
hajat, dan keperluan lainnya yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Di antara
udzur lagi adalah karena haidh -menurut ulama yang tidak membolehkan wanita
haidh diam di masjid- dan orang yang sakit yang juga tidak bisa berdiam di
masjid.
Pembatal I’tikaf
Yang membatalkan i’tikaf adalah
dengan bersenggama atau bersetubuh. Dalilnya adalah ayat,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).
I’tikafnya
jadi batal jika dilakukan dalam keadaan tahu dan ingat sedang beri’tikaf baik
dilakukan di dalam atau di luar masjid. Adapun bercumbu (mubasyaroh)
selain di kemaluan seperti saling menyentuh dan mencium bisa membatalkan
i’tikaf jika keluar mani. Lihat Al Iqna’, 1: 427-428.
Selesai
sudah kajian fikih dari kitab Matan Abi Syuja’. Semoga bermanfaat untuk amalan
kita di bulan Ramadhan. Hanya Allah yang memberi taufik.
Segala
puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Referensi:
- Mukhtashor Abi Syuja’, Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428
- At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan kesebelas, tahun 1428 H.
- Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Syamsudin Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al Maktabah At Tauqifiyah.
- Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Mu’min Al Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
@
Pesantren Darush
Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta,
Senin malam, 22 Sya’ban 1434 H
Penulis:
Muhammad
Abduh Tuasikal
Diambil
dari: www.muslim.or.id
0 comments:
Post a Comment