dakwatuna.com - Sungguh,
sebuah keniscayaan bahwa perkembangan dunia medis berjalan seiring
dengan derasnya arus kapitalisme global dan modernisasi yang kian sulit
dikendalikan, Namun perkembangan jenis penyakit juga tidak kalah cepat
berkembang dan beregenerasi. Sementara itu banyak manusia yang tidak
menyadari bahwa Sang Khaliq
tidak pernah menciptakan manusia dengan ditinggalkan begitu saja tanpa
ada aturan dari-Nya. Setiap kali penyakit muncul, pasti Allah SWT juga
menciptakan obatnya, sebagaimana Sabda Rasulullah SAW: “Tidaklah Allah SWT menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia turunkan penyembuhnya.” (HR. Al-Bukhari dan Ibnu Majah).
Faktanya,
memang ada manusia yang mengetahuinya dan ada yang tidak mengetahuinya.
Kenyataan lain yang harus disadari oleh manusia, bahwa apabila Allah
SWT dan Rasul-Nya secara jelas dan tegas menetapkan suatu penjelasan
-termasuk dalam memberikan petunjuk pengobatan- maka petunjuk pengobatan
itu sudah pasti lebih bersifat pertama dan utama. Dan memang
demikianlah kenyataannya, Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW
secara Kaffah, bukan saja memberi petunjuk tentang perikehidupan
dan tata cara ibadah kepada Allah SWT secara khusus yang akan membawa
keselamatan dunia dan akhirat, tetapi juga memberikan banyak petunjuk
praktis dan formula umum yang dapat digunakan untuk menjaga keselamatan
lahir dan batin, termasuk yang berkaitan dengan terapi, penanganan
penyakit atau pengobatan secara holistik.
Petunjuk praktis dan
kaidah medis tersebut telah sangat banyak dicontohkan oleh Rasulullah
SAW dan diajarkan kepada para sahabat Nabi SAW. Bila keseluruhan formula
dan kaidah praktis itu dipelajari secara saksama, tidak salah lagi!
Bahwa kaum Muslimin dapat mengembangkannya menjadi sebuah sistem dan
metode (thariqah) pengobatan yang tidak ada duanya. Di situlah
akan terlihat korelasi yang erat antara sistem pengobatan Ilahi dengan
sistem pengobatan manusia. Karena Allah SWT telah menegaskan: “Telah diciptakan bagi kalian semua segala apa yang ada di muka bumi ini” (QS. Al Baqarah [2]: 29).
Ilmu pengobatan beserta segala media dan materinya, termasuk yang
diciptakan oleh Allah SWT tidak hanya untuk kaum muslimin saja, tetapi
juga untuk kepentingan seluruh umat manusia.
Ingatlah! Islam
adalah agama dan Ideologi yang sempurna, yang dibawa Rasulullah SAW
bukan hanya kepada orang sehat tapi juga kepada orang yang sakit, maka
cara pelaksanaannya juga disediakan. Untuk itu, sudah seharusnya kaum
Muslimin menghidupkan kembali kepercayaan terhadap berbagai jenis obat
(Madu, Habatussauda, Zaitun, dsb.) dan metode pengobatan (Al-Quran,
Bekam, Ruqyah, dll.) yang telah diajarkan Rasulullah SAW sebagai metode
terbaik untuk mengatasi berbagai macam penyakit. Namun tentu semua jenis
pengobatan dan obat-obatan tersebut hanya terasa khasiatnya bila
disertai dengan sugesti dan keyakinan. Karena -demikian dinyatakan Ibnul
Qayyim- bahwa “keyakinan adalah doa”. Bila pengobatan manusia mengenal istilah placebo
(semacam penanaman sugesti lalu memberikan obat netral yang sebenarnya
bukan obat dari penyakit yang dideritanya), maka Islam mengenal istilah
Doa dan keyakinan. Dengan pengobatan yang tepat, dosis yang sesuai
disertai doa dan keyakinan (Spiritual Healing), tidak ada penyakit yang tidak bisa diobati, kecuali penyakit yang membawa pada kematian. Jabir RA membawakan hadits dari Rasulullah SAW: “Setiap penyakit ada obatnya, Maka bila obat itu mengenai penyakit akan sembuh dengan izin Allah SWT.” (HR. Muslim)
Al-Quran
dan As-Sunnah yang shahih sarat dengan beragam penyembuhan dan obat
yang bermanfaat dengan izin Allah SWT. Sehingga seharusnya kita tidak
terlebih dahulu berpaling dan meninggalkannya untuk beralih kepada
pengobatan kimiawi yang ada di masa sekarang. Karena itulah Ulama
Salafus Shalih, sekaligus Ahli Kedokteran & Pengobatan Islam, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata: “Sungguh
Mereka (para tabib) telah sepakat bahwa ketika memungkinkan pengobatan
dengan bahan makanan maka jangan beralih kepada obat-obatan kimiawi.
Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat yang sederhana, maka jangan
beralih memakai obat yang kompleks. Mereka mengatakan bahwa setiap
penyakit yang bisa ditolak dengan makanan-makanan tertentu dan
pencegahan, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan kimiawi.” Ibnul Qayyim juga berkata: “Berpalingnya
manusia dari cara pengobatan Nubuwwah seperti halnya berpalingnya
mereka dari pengobatan dengan Al-Quran, yang merupakan obat bermanfaat.”
Maka,
tidak sepantasnya seorang muslim menjadikan pengobatan Nabawiyyah
sekadar sebagai pengobatan “tradisional” maupun alternatif lain. Justru
sepantasnya dia menjadikannya sebagai cara pengobatan yang UTAMA, karena
kepastiannya datang dari Allah SWT lewat lisan Rasulullah SAW.
Sementara pengobatan dengan obat-obatan kimiawi (pengobatan cara barat),
boleh saja manusia menggunakannya sebagai pelengkap dan pendukung
pengobatan, namun kepastiannya tidak seperti kepastian yang didapatkan
dengan Thibbun Nabawi, Pengobatan yang diajarkan Nabi SAW diyakini
kesembuhannya karena bersumber dari wahyu. Sementara pengobatan dari
selain Nabi Muhammad SAW kebanyakan hanyalah berangkat dari dugaan atau
dengan pengalaman/ uji coba semata. Ibnul Qayyim kembali berpesan: “Pengobatan Ala Nabi tidak seperti layaknya pengobatan para ahli medis”.
Dengan demikian, Pengobatan Ala Nabi dapat diyakini dan bersifat pasti (qath’i), bernuansa ilahiah, Alamiah, berasal dari wahyu dan misykat Nubuwwah, Ilmiah serta berasal dari kesempurnaan akal melalui proses berfikir (aqliyah).
Namun tentunya, berkaitan dengan kesembuhan suatu penyakit, seorang
hamba tidak boleh bersandar semata dengan pengobatan tertentu, dan tidak
boleh meyakini bahwa obatlah yang menyembuhkan sakitnya. Seharusnya ia
bersandar dan bergantung kepada Al Khaliq, Dzat yang memberikan penyakit dan menurunkan obatnya sekaligus, yakni Allah SWT Rabbul Izzati.
Seorang hamba hendaknya selalu bersandar pada hukum dan aturan-Nya
dalam segala keadaannya. Hendaknya seseorang yang sakit selalu berdoa
memohon kepada-Nya agar menghilangkan segala kemudharatan dan mengambil
hikmah dari berbagai penyakit yang telah menimpa dirinya. Wallahu a’lam bish-showaab.
0 comments:
Post a Comment