MAWARIS
MAKALAH
Disusun dan diajukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah : PAI
Dosen pembimbing: Ust.M.Rudi
Hartanto Lc.
Disusun oleh : 1.Sunarya
2.Lili Muslihat
3Asep sopian
4.Iwan Ridwansyah
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-HIDAYAH BOGOR
Kampus:Jl.Raya
Dramaga Km.6,Kel.Margajaya,Kec.Bogor Barat
Kota
Bogor.Telp. : (0251) 8625187
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan
rahmat dan hidayah kepada umat ini. Shalawat beserta salam semoga tercurah
kepada nabi kita Muhammad Saw. yang tidak ada nabi setelahnya. sebagai contoh
dan panutan yang paling baik bagi seluruh umat manusia.
Alhamdulillah kami dapat menyusun
Makalah dengan tema "Mawarriits”
Walaupun kami sadari masih banyak kekurangan yang belum bisa kami tutupi dalam
pembuatannya. Dengan adanya makalah ini mudah-mudahan dapat menambah
pengetahuan bagi pembaca dan terutama penyusun dan semoga makalah ini dapat
menjadi pelengkap nilai dalam mata kuliah PAI.
Saran dan masukkan sangat kami
harapkan agar dapat menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Semoga Makalah
ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Amin.
Wassalamualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Bogor, 20
Januari 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN MAWARIS
Secara
etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (موارث), yang merupakan
mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya
menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain,
atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan
maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup,
baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang
berupa hak milik yang legal secara syar’i.
Jadi
yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik
dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai
dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.
Sedangkanm
istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-siapa ahli
waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta
bagian-bagian tertentu yang diterimanya.
Fiqih
Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang oleh ulama
faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan
kadarnya. Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta
warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang
tidak berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris telah
ditentukan.[1]
B. TUJUAN KEWARISAN ISLAM
Adapun tujuan kewarisan dalam Islam
dapat kita rumuskan sebagai berikut :
1.
Penetapan
bagian-bagian warisan dan yang berhak menerima secara rinci dan jelas,
bertujuan agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikaian antara ahli waris.
Karena dengan ketentuan-ketentuan tersebut, masing-masing ahli waris harus
mengikuti ketentuan syariat dan tidak bisa mengikuti kehendak dan keinginan
masing-masing.
2.
Baik
laki-laki maupun perempuan mendapat bagian warisan (yang pada masa jahiliyah
hanya laki-laki yang berhak) sebagai upaya mewujudkan pembagian kewarisan yang
berkeadilan berimbang. Dalam artian masing-masing berhak menerima warisan
sesuai dengan porsi beban dan tanggung jawabnya
BAB II
HUKUM DAN
SUMBER HUKUM KEWARISAN
A. HUKUM KEWARISAN
Dalam
hukum kewarisan terdapat dua hal, yaitu, hukum membagi harta warisan menurut
ketentuan syari’at Islam dan hukum mempelajari dan mengajarkannya.
1.
Hukum membagi harta warisan menurut ketentuan syari’at Islam
Bagi
umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syari’at yang telah ditentukan nash
yang sharih adalah suatu keharusan, selama peraturan tersebut tidak ditunjuk
oleh dalil nash yang lain yang menunjukkan ketidak-wajibannya.
Dalam
hal ini kita dapat merujuk nash al-Quran maupun al-Hadis yang berkaitan dengan
hal tersebut, yaitu :
a.
Surat
an-Nisa’ ayat 13 dan 14
“(Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa ta’at kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir
di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan
yang besa. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, Allah bakal memasukkannya ke dalam neraka sedang ia
kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. An-Nisa’ : 13-14).
b.
Hadis Rasulullah SAW.
Bagilah
harta (warisan) antara ahli-ahli waris menurut kitabullah (al-Quran). (H.R.
Muslim dan Abu Dawud).
Berdasarkan
nash al-Quran dan al-Hadis tersebut, maka diisyaratkan keharusan (kewajiban)
membagi harta warisan menurut ketentuan al-Quran dan al-Hadis. Tetapi selain
pemindahan hak kepemilikan melalui kewarisan, adanya ketentuan wasiat dan
hibah. Sehingga terhadap orang lain yang tidak mendapatkan harta melalui
kewarisan dapat diberikan melalui wasiat atau hibah. Demikian pula bagi ahli
waris yang merasa tidak membutuhkan dan tidak mau menerima pembagian harta warisan,
dapat memberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan melalui hibah.
Dalam
Undang-undang Kewarisan Mesir adanya ketentuan wasiat wajibah bagi cucu
perempuan dari garis perempuan yang tidak memperoleh harta warisan karena
sebagai zawil arham. Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam ditemukan pula
ketentuan wasiat wajibah bagi orang tua angkat atau anak angkat. Hal tersebut
menurut penulis langkah yang tepat demi mewujudkan keadilan dengan tanpa
menyalahi ketentuan syari’at.
2.
Hukum mempelajari dan mengajarkannya.
Islam
mengatur ketentuan pembagian harta waris secara rinci agar tidak terjadinya
perselisihan dan pertikaian antara ahli waris. Hal tersebut seringkali terjadi
jika seseorang meninggal dunia, menimbulkan perselisihan bagi ahli warisnya dalam
pembagian harta, bahkan tidak jarang terjadi pertikaian. Sebagai antisipasi hal
tersebut, maka ditentukan secara rinci tentang pembagian harta warisan sebagai
pedoman.
Dengan
telah ditetapkannya pembagian harta warisan dalam Islam, maka harus ada orang
yang mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga orang-orang yang telah
mempelajarinya dapat merealisasikan didalam pembagian harta warisan bagi umat
Islam.
Para
ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqih mawaris adalah wajib
kifayah. Dalam artian apabila telah ada sebagian orang yang melakukannya
(memenuhinya) maka dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila
tidak ada seorang pun yang melaksanakan kewajiban tersebut, maka semua orang
menanggung dosa.
Dalam
hadis Nabi dinyatakan ; Pelajari oleh kalian al-Quran dan ajarkanlah kepada
orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain.
Karena aku adalah orang yang bakal terengut (mati) sedang ilmu akan
dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan
tidak mendapatkan seorang pun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka. (H.R.
Ahmad, Nasai dan al-Daruqutny).
Berdasarkan
hadis tersebut, ditempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh
dengan perintah mempelajari dan mengajarkan al-Quran, menandakan betapa
pentingnya ilmu faraidh tersebut. Hal tersebut sebagai upaya mewujudkan
pembagian warisan yang berkeadilan dan menurut ketentuan syariat Islam.
Terlebih kecenderungan manusia yang materialistik, maka ketentuan pembagian warisan
tersebut sangat penting agar terhindarnya konflik dan perselisihan.
Ilmu
ini dinamakan ilmu Faraaidh bentuk plural (jamak) dari faridhah yang diambil
dari kata Fardh yang berarti
ketentuan (taqdiir) karena bagian-bagian harta yang diberikan kepada ahli waris
telah ditentukan. Oleh karena itu, makna fariidhah
adalah bagian-bagian ahli waris yang telah ditentukan oleh syara’. Dan makna
ilmu faraidh adalah ilmu yang
mempelajari pembagian warisan dan cara penghitungannya dilihat dari kacamata
fiqh.[2]
B.
SUMBER HUKUM KEWARISAN
Hukum
kewarisan bersumber pada al-Quran dan al-Hadis yang menjelaskan ketentuan hukum
kewarisan.
1.
Al-Quran
a.
Surat an-Nisa’ ayat 7 :
Bagi
laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An-Nisa’ :
7).
Menurut
ayat kewarisan tersebut baik laki-laki maupun perempuan berhak mewarisi harta
yang ditinggalkan ibu-bapa maupun kerabatnya. Hal tersebut menghapuskan tradisi
yang berlaku pada masa jahiliyah, yang berhak menerima warisan hanya laki-laki
yang dewasa saja.
b.
Surat
al-Ahzab ayat 6
Nabi
itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari mereka sendiri dan isteri-isterinya
adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama
lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang
mukmin dan orang-orang muhajirin kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada
saudara-saudaramu (seagama), adalah yang demikian itu telah tertulis dalam
kitab (Allah). (Al-Ahzab : 6).
Berdasarkan
ayat tersebut, orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan lebih berhak
mewarisi harta seseorang yang meninggal dunia daripada orang lain. Tetapi tidak
menutup kemungkinan, jika mau berbuat baik kepada orang lain (seagama) dengan
melalui hibah atau wasiat.
c.
Surat
an-Nisa’ ayat 11 dan 12 :
Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan, dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut diatas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. (An-Nisa’ : 11).
Dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai naka, maka para
isteri meperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara
itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang
maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang
dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
(An-Nisa’ : 12).
Kedua
ayat tersebut menjelaskan secara rinci bagian-bagian ahli waris baik yang
termasuk ashabul furudl maupun ashabah.
Ayat-ayat
lain yang berhubungan dengan kewarisan adalah
al-Baqarah 180, An-nisa’ 8,9,176 dan al-Anfal 75.
al-Baqarah 180, An-nisa’ 8,9,176 dan al-Anfal 75.
2. Al-Hadis
a.
Riwayat Bukhari dan Muslim.
Nabi
SAW. bersabda; Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang
berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat
kekerabatannya). (H.R. Bukhari dan Muslim).
b.
Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
Orang
muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak berhak mewarisi
orang muslim. (H.R. Bukhari dan Muslim).
c.
Riwayat Bukhari dan Muslim dari Sa’ad ibn Abi Waqqas tentang batas maksimal
pelaksanaan wasiat.
Rasulullah
SAW. datang menjengukku pada tahun haji wada’ diwaktu aku menderita sakit
keras. Lalu aku bertanya kepada beliau,” wahai Rasulullah, aku sedang menderita
sakit keras, bagaimana pendapatmu, aku ini orang berada sementara tidak ada
yang akan mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan, apakah aku sedekah
(wasiat) kan dua pertiga hartaku? “Jangan” jawab Rasul. Aku bertanya
“setengah”? “jangan” jawab Rasul. Aku bertanya “sepertiga”? Rasul menjawab
“sepertiga” sepertiga adalah banyak atau besar, sungguh kamu jika meninggalkan
ahli warismu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang. (H.R. Bukhari dan
Muslim).
BAB III
UNSUR-UNSUR DAN SYARAT KEWARISAN
A.
UNSUR KEWARISAN
Dalam
kewarisan Islam terdapat tiga unsur (rukun), yaitu :
1.
Maurus.
Maurus
atau miras adalah harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan
jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini yang
diamaksdukan hal tersebut adalah :
a.
Kebendaan yan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda-benda
tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati, diyat wajibah (denda
wajib) yang dibayarkan kepadanya.
b.
Hak-hak kebendaan, seperti monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari
suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi dan lain sebagainya.
c.
Benda-benda yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar dan hak syuf’ah, hak
memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan sebagainya.
d.
Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang sedang
digadaikan, benda yang telah dibeli oleh si mati sewaktu masih hdup yang sudah
dibayar tetapi barang belum diterima.
2.
Muwaris.
Muwaris,
yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan
hartanya.
3.
Waris.
Waris,
adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan muwaris karena mempunyai
hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan atau
akibat memerdekakan hamba sahaya.
B.
SYARAT KEWARISAN
Adapun
syarat-syarat terjadinya pembagian harta warisan dalam Islam adalah ;
1.
Matinya muwaris.
Kematian
muwaris dibedakan kepada tiga macam yaitu :
a.
Mati haqiqy.
Mati
haqiqy, ialah kematian seseorang yang dapat disaksikan oleh panca indra dan
dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
b.
Mati hukmy.
Mati
hukmy, ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis hakim. Misalnya orang yang
tidak diketahui kabar beritanya, tidak diketahui domisilinya, maka terhadap
orang yang sedemikian hakim dapat memvonis telah mati. Dalam hal ini harus
terlebih dahulu mengupayakan pencarian informasi keberadaannya secara maksimal.
c.
Mati taqdiry (menurut dugaan).
Mati
taqdiry, yaitu orang yang dinyatakan mati berdasarkan dugaan yang kuat. Semisal
orang yang tenggelam dalam sungai dan tidak diketem,ukan jasadnya, maka orang
tersebut berdasarkan dugaan kuat dinyatakan telah mati. Contoh lain, orang yang
pergi kemedan peperangan, yang secara lahiriyah mengancam jiwanya. Setelah
sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dapat melahirkan dugaan kuat
bahwa ia telah meninggal.
2.
Hidupnya waris.
Dalam
hal ini, para ahli waris yang benar-benar hiduplah disaat kematian muwaris,
berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaiatan dengan bayi yang masih berada
dalam kandungan akan dibahas secara khusus.
3.
Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi.
Tidak
ada penghalang kewariosan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hal-hal yang
menjad penghalang kewarisan.
BAB IV
SEBAB-SEBAB
ADANYA KEWARISAN MENURUT ISLAM
Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada
tiga, yaitu; hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena
sebab al-wala’.[3]
A.
HUBUNGAN KEKERABATAN
Kekerabatan
ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi
yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak
mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure causalitas adanya
seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika
perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang.
Dasar
hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
(Q.S. An-Nisa’ : 7).
Demikian
pula dalam surat al-Anfal ayat 75 : …Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).
B.
HUBUNGAN PERKAWINAN
Hubungan
perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah perkawinan yang
sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini,
terpenuhinya rukun dan syarat secara agama. Tentang syarat administrative masih
terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan
kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan
bukan secara administrasi (hukum positif, Pen.) tetapi ketentuan agama.
Disebagian
negara muslim, seperti Pakistan, perkawinan yang tidak dicatat dapat dihukum
penjara atau denda atau bahkan kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini menjadi
perhatian, karena perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administrative
(hukum positif) akan dapat menimbulkan kemudlaratan, seperti penyangkalan
terhadap suatu perkawinan karena tidak adanya bukti tertulis (secara
administratif).
Berkaitan
dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan yang masih
utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap
masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai
pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai.
Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak
penuh merujuk isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas
kawin baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali.
Sehingga
isteri yang sedang berada dalam masa iddah talak raj’i, apabila suaminya
meninggal ia berhak mewarisi harta suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami
berhak mewarisi harta isterinya.
C.
HUBUNGAN KARENA SEBAB AL-WALA’
Wala’
dalam pengertian syariat adalah ;
1)
Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak
emansipasi) budak.
2)
Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong
dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.
Wala’
yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab
telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika
laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut
dengan walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang
tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang
berkata kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku
telah mati dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku dilukai
seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan menagambil diyat
karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama
disebut al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawala.
Adapun
bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari
harta peninggalan. Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur ulama demikian pula
Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melalui surat al-Anfal ayat 75 :
Orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
BAB V
SEBAB-SEBAB
YANG MENJADI
PENGHALANG
KEWARISAN
Hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk mewarisi
( موانع الارث ) Para ulama mazhab sepakat bahwa ada tiga hal yang menghalangi warisan, yaitu: ( perbudakan, pembunuhan, dan berlainan agama )[4]
( موانع الارث ) Para ulama mazhab sepakat bahwa ada tiga hal yang menghalangi warisan, yaitu: ( perbudakan, pembunuhan, dan berlainan agama )[4]
A.
PERBUDAKAN
Perbudakan
menjadi penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk umum yang
menyatakan budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum. Hal ini
berdasarkan surat al-Anfal ayat 75 :
Allah
membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat
bertindak terhadap sesutupun…(Q.S. Al-Anfal : 75).
Mafhum
ayat tersebut menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap untuk mengurusi hak milik
kebendaan dengan jalan apa saja. Hak-hak kebendaannya sepenuhnya berada
ditangan tuannya. Dan status kekerabatan dengan keluarganya sudah putus.
Sebagaimana dinyatakan oleh Drs. Fatchur Rahman, bahwa budak tidak dapat
mewarisi karena :
a.
Ia dipandang tidak cakap mengurusi harta milik;
b.
Status kekeluargaannya terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus dan karenanya ia
sudah menjadi keluarga asing (bukan keluarganya).
Menurut
Ali Ahmad Al-Juejawy, budak itu tidak dapat mewarisi harta peninggalan tuannya
bila tuannya meninggal, disebabkan budak itu sendiri berstatus sebagai harta
milik bagi tuannya.
Kitab
Undang-undang Kewarisan Mesir tidak memuat pasal tentang penghalang mewarisi
karena perbudakan, karena di negara tersebut perbudakan dilarang oleh
undang-undang.
Hal tersebut merupakan hal yang sangat positif, karena pada
hakikatnya Islam tidak menghendaki adanya perbudakan. Hal tersebut dapat kita
perhatikan dari gencarnya Islam menghapuskan perbudakan dengan adanya hukuman
yang diberikan kepada seseorang berupa pembebasan budak. Budak adalah tetap
manusia yang mempunyai harkat dan martabat, hanya karena statusnya yang tidak
memiliki kecakapan apapun. Hal tersebut terjadi karena masa jahiliyah (sebelum
Islam dating) budak diposisikan dengan cara yang tidak terhormat, dapat
diperlakukan apa saja dan dianggap seperti barang/harta. Sehingga ajaran Islam
yang sangat memperhatikan keadaan dan kondisi suatu masyarakat, tidak dengan
serta merta (secara totalitas) menghapuskan tradisi tersebut. Proses tasyri’
yang sedemikian dapat juga kita perhatikan dari proses pengharaman khamar
(minuman keras) yang dilakukan dengan bertahap.
B.
PEMBUNUHAN
Pembunuhan
yang dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwarris menyebabkannya tidak dapat
mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas (jumhur) ulama. Hal tersebut
merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak menutup kemungkinan untuk
menguasai harta seseorang membunuh orang lain. Karena motivasi yang tidak baik
tersebut, maka terhadap orang yang membunuh tidak diperkenankan dan tidak
berhak mewarisi harta peninggalannya.
Terhadap
masalah ini, golongan khawarij, yang memisahkan diri dari Ali bin Abi Thalib
dan Muawiyah, menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat al-Quran
bersifat umum dan tidak mengecualikan si pembunuh. Karena ayat-ayat kewarisan
hanya memberi petunjuk umum, sehingga keumuman ayat-ayat tersebut harus
diamalkan.
Dalam
hal ini mereka hanya mengacu pada keumuman ayat-ayat kewarisan. Padahal dalam
hadis nabi Muhammad SAW. adanya pengecualian terhadap pembunuh. Adapun dasar
hukum yang dipergunakan oleh mayoritas (jumhur) ulama yang menyatakan pembunuh
terhalang untuk mewarisi adalah;
1.
Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas :
Rasulullah
SAW. bersabda : Barang siapa membunuh seseorang korban, maka ia tidak dapat
mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya. (Begitu
juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi
pembunuh tidak berhak menerima warisan. (H.R. Ahmad).
2.
Riwayat An-Nasai :
Tidak
ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi. (H.R. An-Nasai).
Berdasarkan
hadis-hadis tersebut, maka secara jelas dinyatakan pembunuh terhalang untuk
mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Hal tersebut, walaupun tidak ada ahli
waris lain selain dirinya, ataupun yang dibunuhnya orang tua atau anaknya. Yang
menjadi permasalahan adalah, mengingat banyaknya jenis dan macam pembunuhan.
Apakah secara keseluruhan pembunuhan menjadi penghalang untuk mewarisi. Dalam
hal ini ada beberapa pendapat, yaitu :
C.
BERLAINAN AGAMA
Terhadap
orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam menjadi penghalang
mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang
yang beragama non Islam.
Adapun
dasar hukumnya adalah hadis rasulullah SAW. : Orang Islam tidak mewarisi harta
orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.
Kemudian
hadis riwayat Ashab Al-Sunan (Imam Abu daud, Al-Tirmizi, Al-Nasai, dan Ibnu
majah) :
Tidak
dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda.
Dalam
hal ini nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman beliau, Abu
Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW. yang meninggal
sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada
anak-anaknya yang masih kafoir, yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan terhadap
anak-anaknya yang sudah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak diberi bagian.
Dalam
hal ini terdapat permasalahan, yaitu apabila pewaris masuk Islam sesudah
meninggalnya orang yang mewarisi, dan harta peninggalan (ketika ia masuk Islam)
belum dibagikan. Ada beberapa pendapat sebagai berikut :
1.
Jumhur ulama tetap berpendapat terhalangnya orang tersebut untuk mewarisi
hartanya. Karena yang menyebabkan timbulnya hak mewarisi adalah sejak (karena)
kematian orang yang mewarisi, bukan saat dimulainya pembagian harta waris.
2.
Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, menyatakan bahwa pewaris tersebut
tidak terhalang, dengan alas an predikat “berlainan agama’ sudah hilang sebelum
pembagian harta warisan.
3.
Fuqaha aliran Imamiyah berpendapat sama dengan Ahmad bin Hanbal, tidak
terhalang, karena harta peninggalan itu belum menjadi milik harta waris secara
tetap, sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris
BAB VI
AHLI WARIS,
HARTA YANG HARUS DIKELUARKAN,
HAJIB DAN
MAHJUB
A. AHLI WARIS
Ahli Waris ialah orang yang berhak menerima warisan,
ditinjau jenisnya dapat dibagi dua, yaitu zawil furud dan ashobah.
Penggolongan ahli waris ahli waris ada dua jenis lelaki
dan perempuan .
1. Ahli Waris lelaki terdiri dari
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki sampai keatas dari garis anak
laki-laki.
c. Ayah
d. Kakek sampai keatas garis ayah
e. Saudara laki-laki kandung
f. Saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-laki saudara kandung sampai kebawah.
i. Anak laki-laki saudara seayah sampai kebawah.
j. Paman kandung
k. Paman seayah
l. Anak paman kandung sampai kebawah.
m. Anak paman seayah sampai kebawah.
n. Suami
o. Laki-laki yang memerdekakan
2. Ahli Waris wanita terdiri dari
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan sampai kebawah dari anak laki-laki.
c. Ibu
d. Nenek sampai keatas dari garis ibu
e. Nenek sampai keatas dari garis ayah
f. Saudara perempuan kandung
g. Saudara perempuan seayah
h. Yang Saudara perempuan seibu.
i. Isteri
j. Wanita yang memerdekakan
Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua
yaitu : Ashhabul furudh dan Ashobah.
1. Ashabul furudh
yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
a. Yang dapat bagian ½ harta.
· Anak perempuan
kalau sendiri
· Cucu perempuan
kalau sendiri
· Saudara
perempuan kandung kalau sendiri
· Saudara
perempuan seayah kalau sendiri
· Suami
b. Yang mendapat bagian ¼ harta
· Suami dengan
anak atau cucu
· Isteri atau
beberapa kalau tidak ada (anak atau cucu)
c. Yang mendapat 1/8
· Isteri atau
beberapa isteri dengan anak atau cucu.
d. Yang mendapat 2/3
· dua anak
perempuan atau lebih
· dua cucu
perempuan atau lebih
· dua saudara
perempuan kandung atau lebih
· dua saudara
perempuan seayah atau lebih
e. Yang mendapat 1/3
· Ibu jika tidak
ada anak, cucu dari grs anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah atau seibu.
· Dua atau lebih
anak ibu baik laki-laki atau perempuan
f. Yang mendapat 1/6
· Ibu bersama
anak lk, cucu lk atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau perempuan
seibu.
· Nenek garis ibu
jika tidak ada ibu dan terus keatas
· Nenek garis
ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
· Satu atau lebih
cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan kandung
· Satu atau lebih
saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan kandung.
· Ayah bersama
anak lk atau cucu lk
· Kakek jika
tidak ada ayah
· Saudara seibu
satu orang, baik laki-laki atau perempuan.
2. Ahli waris
ashobah yaitu para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu tetapi mereka
dapat menghabiskan bagian sisa ashhabul furud. Ashobah terbagi tiga jenis yaitu
ashabah binafsihi, ashobah bighairi dan ashobah menghabiskan bagian tertentu
a. Ashobah binafsihi adalah yang ashobah dengan
sndirinya. Tertib ashobah binafsihi sebagai berikut:
· Anak laki-laki
· Cucu laki-laki
dari anak laki-laki terus kebawah
· Ayah
· Kakek dari
garis ayah keatas
· Saudara
laki-laki kandung
· Saudara
laki-laki seayah
· Anak laki-laki
saudara laki-laki kandung sampai kebawah
· Anak laki-laki
saudara laki-laki seayah sampai kebawah
· Paman kandung
· Paman seayah
· Anak laki-laki
paman kandung sampai kebawah
· Anak laki-laki
paman seayah sampai kebawah
· Laki-laki yang
memerdekakan yang meninggal
b. Ashobah dengan dengan saudaranya
· Anak perempuan
bersama anak laki-laki atau cucu laki.
· Cucu perempuan
bersama cucu laki-laki
· Saudara
perempkuan kandung bersama saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki
seayah.
· Saudara
perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
c. Menghabiskan bagian tertentu
· Anak perempuan
kandung satu orang bersama cucu perempuan satu atau lebih (2/3).
· Saudara
perempuan kandung bersama saudara perempuan seayah (2/3)
B. Harta yang harus dikeluarkan
Harta yang harus dikeluarkan sebelum dibagikan kepada
ahli waris:
1. Biaya jenazah
2. Utang yang belum dibayar
3. Zakar yang belum dikeluarkan
4. Wasiat
C. Hajib dan mahjub
1. Nenek dari garis ibu gugur haknya karena adanya ibu.
2. Nenek dari garis ayah gugur haknya karena adanya ayah
dan ibu
3. Saudara seibu gugur haknya baik laki-laki ataupun
perempuan oleh:
a. anak kandung laki/perempuan
b. cucu baik laki-laki/perempuan dari garis laki-laki
c. bapak
d. kakek
4. Saudara seayah baik laki-laki/perempuan gugur haknya
oleh :
a. ayah
b. anak laki-laki kandung
c. cucu laki-laki dari garis laki-laki
d. Saudara laki-laki kandung
5. Saudara laki-laki/perempuan kandung gugur haknya oleh:
a. anak laki-laki
b. cucu laki-laki dari garis anak laki-laki
c. ayah
6. Jika semua ahli waris itu laki-laki yang dapat bagian
ialah.
a. suami
b. ayah
c. anak laki-laki
7. Jika semua ahli waris itu semuanya perempuan dan ada
semua, maka yang dapat warisan ialah:
a. Isteri
b. Anak perempuan
c. Cucu perempuan
d. Ibu
e. Saudara perempuan kandung
8. Urutan pembagian antara saudara laki-laki kandung/
saudara laki-laki seayah sampai kebawah dan urutan paman kandung / paman seayah
sampai kebawah.
a. Saudara laki-laki kandung menggugurkan saudara seayah(
L/P )
b. Saudara laki-laki seayah menggugurkan anak lk saudara
kandung
c. Anak laki-laki saudara kandung menggugurkan anak lk
saudara seayah
d. Anak laki-laki saudara seayah menggugurkan cucu lk
saudara kandung.
e. Cucu laki-laki saudara kandung menggugurkan cucu lk
saudara seayah dts
f. Cucu laki-laki saudara seayah menggugurkan Paman
kandung
g. Paman kandung menggugurkan paman seayah
h. Paman seayah menggugurkan anak laki-laki paman kandung
i. Anak laki-laki paman kandung menggugurkan anak lk
paman seayah
j. Anak laki-laki paman seayah menggugurkan cucu lk paman
kandung
k. Cucu laki-laki paman kandung menggugurkan cucu lk
paman seayah.
b. demikian seterusnya
BAB VII
CARA
MENGHITUNG, MEMBAGIKAN WARISAN
Contoh Kasus
Pertanyaan :
Seseorang Meninggal dunia meninggalkan
harta warisan senilai
Rp 66.000.000.00. Ahli waris terdiri dari kakek, bapak, dan 2anak laki-laki. Berapa bagian masing-masing?
Rp 66.000.000.00. Ahli waris terdiri dari kakek, bapak, dan 2anak laki-laki. Berapa bagian masing-masing?
Jawab :
Untuk dapat menjawab kasus ini mari
kita buka materi yang terdapat pada
BAB VI, disana dikatakan bahwa Bapak mendapatkan bagian 1/6
penyelesainnya adalah 1 x Rp 66.000.000.00 / 6 = Rp 11.000.000.00 jadi bapak mendapatkan bagian sejumlah Rp 11.000.000.00, sedangkan 2 Anak laki-laki adalah asobah/sisa, maka Penyelesainnya Rp 66.000.000.00 - Rp 11.000.000.00 = Rp 55.000.000.00, seorang anak laki-laki adalah Rp 55.000.000.00 / 2 = Rp 27.500.000.00
BAB VI, disana dikatakan bahwa Bapak mendapatkan bagian 1/6
penyelesainnya adalah 1 x Rp 66.000.000.00 / 6 = Rp 11.000.000.00 jadi bapak mendapatkan bagian sejumlah Rp 11.000.000.00, sedangkan 2 Anak laki-laki adalah asobah/sisa, maka Penyelesainnya Rp 66.000.000.00 - Rp 11.000.000.00 = Rp 55.000.000.00, seorang anak laki-laki adalah Rp 55.000.000.00 / 2 = Rp 27.500.000.00
Bagimana dengan kakek, kakek tidak
memiliki hak waris karena terhalang oleh ayah.
KESIMPULAN
Seorang yang meninggal dunia tidak usai begitu saja, dia masih menimbulkan hukum Bagi yang ditinggalkannya salah satunya yaitu hukum kewarisan.
Hukum kewarisan : hukum yang
mengatur ketentuan yang diperoleh oleh ahliwaris menurut ketentuan syara. Yakni
memungkinkan seseorang mendapat Warisan.
Dalam menyikapi hukum mawaris ada beberapa poin penting yang
memang kita harus pelajari yaitu :
- Hukum kewarisan
- Unsur-unsur dan Syarat kewarisan
- Sebab-sebab adanya kewarisan
- Sebab-sebab yang menjadi penghalang kewarisan
- Hajib dan Mahjub
- Cara Menghitung dan membagikan warisan
Apabila kita sudah
mengetahui keenam poin diatas insyaAllah minimal kita dapat mempelajari ataupun
menerapkan hukum mawaris sesuai tuntunan syariat islam.waAllahualam
PENUTUP
Demikian
materi makalah
Fikih Mawaris dapat saya suguhkan, semoga dengan uraian sederhana ini dapat
bermanfaat khususnya bagi saya selaku penyusun dan para pembaca yang budiman
pada umumnya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada
Ustad Rudi hartanto Lc., Dosen mata kuliah PAI yang telah memberikan tugas
makalah sehingga penyusun mendapat pengalaman dan pengetahuan baru mengenai
ilmu fiqih mawaris. Semoga dengan ini kita semua dapat meningkatkan kualitas
ilmu kita scara maksimal sehingga kita menjadi hamba Alloh yang bermanfaat
dengan ijin-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Qur’an
In- word
2.
Jawad
Muhammad, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000
3.
Al-
Faujan Saleh, Fiqh Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani, 2006
4.
Effendi
Miftah blog.spot.com, Fiqh Mawaariits, April 2010
[1]
Miftah Effendi,Fiqh Mawaris,”http//Miftah
Effendi.blog.spot.com”,diunduh 2 januari 2013
[2]
Saleh Al-Fauzan,Fiqh sehari-hari,(Jakarta:
gema insani,2000) hlm-561-562
[3]
Saleh al-Fauzan,Fiqh sehari-hari,(Jakarta: gema insani,2000) hlm-564-565
[4]
Muhammad Jawad Mughniyah,Fiqh Lima Mazhab,(Jakarta:
lentera, 2000) hlm: 541
0 comments:
Post a Comment