Islam
adalah agama yang sempurna. Sempurna syariat-Nya, yang lahir maupun batin.
Sempurna dalam hal ushul (pokok-pokok aqidah) maupun yang furu’
(cabang-cabang amaliyah). Sebagaimana firman Allah Ta’ala
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari
ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” (QS. Al-Maidah: 3)
Diantara
kesempurnaan Islam adalah, adanya aturan dan hukum-hukum bagi wanita yang
sedang haid.
Allah Ta’ala
berfirman
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid.Katakanlah,’Haid itu adalah suatu kotoran’.Oleh
karena itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari wanita di waktu haid,dan
janganlah kamu mendekati mereka,sampai mereka suci.Apabila mereka telah
suci,maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” (QS. A-Baqarah: 222)
Allah subhaanahu
wa ta’ala mengabarkan tentang pertanyaan para sahabat mengenai haid. Apakah
ketika sedang haid, kondisinya sama seperti sebelum ia haid? Ataukah haruskah
dijauhi secara mutlak sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi?
Allah ‘azza
wa jalla menjelaskan bahwa haid adalah kotoran. Tentu merupakan suatu
hikmah Allah melarang seorang suami menggauli istrinya ketika haid.Karena itu
Allah berfirman:
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
”Hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid,”
artinya,
menjauhi tempat keluarnya haid, yaitu jangan melakukan jima’ di kemaluan.
Perbuatan ini hukumnya haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama).
Perintah
untuk ”menjauhi tempat haid” menunjukkan bahwa bercumbu dengan istri yang haid,
menyentuhnya tanpa berjima’ pada kemaluannya, hukumnya diperbolehkan.
Larangan
ini menunjukkan, seorang suami hendaknya tidak mencumbu bagian yang dekat
dengan kemaluan, yaitu daerah antara pusar dan lutut. Dan inilah yang
dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika istri beliau sedang
haid. Bila beliau akan mencumbu istrinya ketika sedang haid, beliau
memerintahkan kepadanya untuk memakai kain lalu beliau mencumbuinya.
Syarat
Halal Jima’ Pasca Haid
Syarat
kehalalan jima’ setelah haid ada dua; (1) darah haid telah berhenti, (2)
mandi suci dari haid (mandi besar).
Allah Ta’ala
memberikan batasan,
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
”Dan
janganlah kamu mendekati istrimu, sebelum mereka suci,”
Batasan
waktu menjauhi dan tidak mendekati istri yang sedang haid adalah “sampai mereka
suci” artinya, darah haid telah berhenti.
Ketika
darahnya berhenti, hilang syarat pertama, sehingga tersisa syarat kedua
sebagaimana Allah ‘azza wa jalla jelaskan pada kelanjutan ayat tersebut,
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ
“Apabila
mereka telah bersuci,”
maksudnya
mereka telah mandi
فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
“maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu,” yaitu pada kemaluan depan dan bukan
dubur karena itulah tempatnya bersenggama.
Hukum
Mencampuri Istri Yang Sedang Haid
Menggauli
wanita haid pada kemaluannya merupakan perbuatan dosa yang terlarang berdasar
kesepakatan ulama. [Lihat Al-Muhalla (II /162), Majmu’ Al Fatawa
(XXI/624),dan Tafsir Ath –Taabari (IV/378)]
Imam an
Nawawi rahimahullah (dalam kitab Syarh Muslim
III:204) mengatakan :
“Andaikata
seorang muslim meyakini akan halalnya jima’ dengan perempuaan yang sedang haid
melalui kemaluannya, ia menjadi kafir, murtad. Kalau ia melakukannya tanpa
berkeyakinan halal, misalnya dia melakukannya karena lupa, atau karena
tidak mengetahui keluarnya darah haid atau tidak tahu, bahwa hal tersebut
haram, atau karena dia dipaksa oleh pihak lain, maka itu tidak berdosa dan
tidak pula wajib membayar kaffarat. Namun, jika dia sedang haid dan tahu bahwa
hukumnya haram dengan penuh kesadaran, maka berarti dia telah melakukan dosa
besar sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Syafi’i rahumahullah,
bahwa perbuatannya adalah dosa besar, dan ia wajib bertaubat.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al Fataawa ( XXI / 624),
“Menggauli
istri yang sedang nifas sama hukumnya dengan menggauli wanita haid, hukumnya
haram berdasar kesepakatan ulama.”
Apakah
Wajib Membayar Kaffarat?
Tentang
Kewajiban membayar kaffarat untuk suami yang menggauli istrinya yang
sedang haid, ada dua pendapat,
1. Menurut
Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi Al Khalafi dalam kitab Al Wajiz , wajib
hukumnya membayar kaffarat, karena ada hadis Ibnu Abbas radhiyallallahu
‘anhuma,
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِدِينَارٍ أَوْ
نِصْفِ دِينَارٍ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh orang yang mendatangi isterinya dalam
keadaan haid untuk bersedekah dengan satu dinar atau setengahnya.”(HR. Ahmad no. 2015 dan Abu Daud no.
230)
Dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam tentang seorang suami yang mencampuri isterinya di waktu
haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Dia harus
bersedekah satu dinar atau setengah dinar.”
[Shahih,
Ibnu Majah (no.523), ’Aunul Ma’bud (I: 445 no. 261), Nasa’i (I:153), Ibnu
Majah (I:210 no.640)]
Menentukan
pilihan satu dinar atau setengah dinar di kembalikan kepada perbedaan antara
jima’ di awal haid atau akhir haid waktu haid. Hal ini mengacu kepada
riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara mauquf, dia
berkata, ”Jika dia bercampur dengan istrinya di awal keluarnya darah maka
hendaklah bersedekah satu dinar,dan jika di akhir keluarnya darah, maka
setengah dinar.”
(Shahih
mauquf. Abu Dawud no.238 dan ‘Aunul Ma’bud I: 249 no.262 )
2. Jumhur
ulama berpendapat, tidak wajib membayar kaffarat – berbeda dengan pendapat Imam
Ahmad yang mewajibkan membayar kaffarat -.
Abu Malik
Kamal bin as-Sayyid Salim dalam buku Ensiklopedi Fiqih Wanita hlm 114
mengatakan, “Yang benar adalah tidak ada kewajiban membayar kaffarat baginya
karena lemahnya dalil yang mewajibkan, Wallahu a’lam.”
Semoga
Allah senantiasa membimbing kita di atas dien yang lurus.
***
Muslimah.Or.Id
Bandung,13 Dzulhijjah 1434 H
Yang sangat mengharap ampunan Rabb-nya
Umi Ummu ‘Afifah
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Muslimah.Or.Id
Bandung,13 Dzulhijjah 1434 H
Yang sangat mengharap ampunan Rabb-nya
Umi Ummu ‘Afifah
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Rujukan:
- Tafsir
Al Qur’an karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
- Ensiklopedi
Fiqih Wanita jilid 1 karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim judul asli “Fiqhus
Sunnah lin Nisaa-i wa maa Yajibu an Ta’rifahu Kullu Muslimatin minal Ahkaam”
- Al-Wajiz
karya Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi Al Khalafi
Diambil dari:
muslimah.or.id
0 comments:
Post a Comment