Sebaik-baik
wanita yaitu yang tetap tinggal di rumahnya. Namun, ada kalanya wanita butuh
atau ingin ke masjid untuk berbagai keperluan seperti shalat, bermajelis,
mengambil barang dan sebagainya yang menganjurkan dia untuk ke masjid. Oleh
karena itu butuh ilmu untuk mengetahui adab-adabnya sehingga tetap terjaga
kemuliaan wanita berdasarkan adab yang dilakukan oleh para shahabiyah.
Tidak
ada yang menghalangi seorang wanita untuk datang ke masjid, dan ia tidak
sepantasnya dilarang jika ingin mendatanginya selama ia tidak melakukan sesuatu
yang terlarang dalam tinjauan syara’. Hal tersebut sangat jelas disebutkan
dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiallaahuanhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam, beliau bersabda:
“Apabila
isteri salah seorang di antara kalian meminta izin untuk pergi ke masjid maka
janganlah ia melarangnya.” (HR. Bukhari)
Lajnah
Da’ Imah menyatakan, “dibolehkan bagi seorang muslimah mengerjakan shalat di
masjid. Dan apabila ia meminta izin kepada suaminya untuk mengerjakan shalat di
masjid, maka suaminya itu tidak diperkenankan melarangnya dari keinginan itu,
selama wanita itu berada dalam keadaan tertutup dan bagian badan yang haram
terlihat oleh laki-laki asing pun tidak nampak…” kemudian setelah ‘Lajnah
melampirkan beberapa dalil dari Al Quran dan As Sunnah, mereka melanjutkan: dan
ini adalah nash-nash yang sangat jelas menunjukkan bahwa seorang muslimah yang
berpegang teguh dengan adab-adab islam dalam berpakaian dan menghindari setiap
perhiasan pemikat yang bisa menimbulkan fitnah dan menjadikan orang-orang yang
lemah iman cenderung kepadanya, agar ia tidak dilarang mengerjakan shalat di
masjid. Dan jika penampilan wanita tersebut menjadikan orang-orang jahat
terpikat dan mendatangkan fitnah dari hati yang bimbang, maka wanita itu
dilarang masuk ke dalam masjid, bahkan ia dilarang keluar dari rumahnya untuk
mendatangi tempat-tempat umum…” (VII/330)
Beberapa Ketentuan Khusus yang Berlaku bagi Kaum Wanita yang
Membedakannya dengan Kaum Laki-laku Ketika Hadir di Masjid
- Tidak Memakai Wewangian dan Perhiasan yang Bisa Mengundang Fitnah
Seperti
mengenakan pakaian yang memikat, atau mengenakan gelang kaki. Jika hal ini atau
sebagiannya dijumpai pada hari ini atau sebagiannya dijumpai pada diri seorang
wanita, maka terlarang mendatangi masjid.
Adapun
wangi-wangian, telah disebutkan dalam nash khusus.
Zainab
isteri ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda kepada kami:
“Apabila
salah seorang diantara kalian (para wanita) mendatangi masjid, maka janganlah
ia memakai wangi-wangian.” (HR. Muslim)
Dari
Abu Hurairah radhiallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Wanita
mana saja yang memakai bakhur (sejenis wewangi-wangian berbentuk asap) maka
janganlah ia mengerjakan shalat isya bersama kami.” (HR. Muslim)
Adapun
perhiasan lainnya, ketika seorang wanita mengenakan perhiasan itu untuk berhias
yang akan menimbullkan gairah syahwat dan mengobarkan fitnah, maka wanita
tersebut dilarang mendatangi masjid untuk menghindari fitnah dan menutup setiap
celah keburukan.
- Wanita Haid dan Nifas Tidak Boleh Diam di Dalam Masjid
Wanita
yang sedang haid, nifas, dan junub tidak boleh memasuki masjid, kecuali jika
sekedar melintas saja, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ
حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“(Jangan
pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekadar
berlalu saja, hingga kamu mandi…” (QS. An Nisa: 43)
Dan
di antara dalil yang melarang wanita haid masuk ke dalam masjid (wanita nifas
diqiyaskan kepada wanita haid) adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu
’anha, ia berkata, “Rasulullah shalallahu ’alaihi wasallam bersabda
kepadaku, ambilah untukku tikar kecil dari masjid.” ‘Aisyah berkata, “Aku
berkata, ‘Aku sedang haid.’ Maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya haidmu itu
bukan pada tanganmu.’” (HR. Muslim)
Perkataan
Aisyah radhiallaahu ’anha, “Aku sedang haid” menunjukkan bahwa wanita
haid tidak boleh masuk ke dalam masjid dan tidak juga diam di dalamnya masjid
selain yang dikecualikan. Dan sebab dilarangnya ini karena khawatir salah satu
bagian masjid dikotori oleh najisnya darah haid.
Faidah:
Dibolehkan bagi wanita istihadhah untuk masuk ke dalam masjid dan i’tikaf di
dalamnya. Akan tetapi, ia harus menjaga jangan sampai ia mengotori masjid
dengan najis. Dalam Shahih Bukhari ‘Aisyah radhiallaahu ’anha
meriwayatkan bahwa sebagian dari ummahatul mukminin melakukan i’tikaf dalam
keadaan sedang istihadhah.
- Shalat di belakang Shaf Laki-Laki dan Tidak Bercampur dengan Mereka
Shaf
kaum wanita di dalam masjid berada di belakang shaf kaum laki-laki, dan semakin
jauh shaf wanita dari shaf laki-laki maka akan semakin baik dan lebih utama
bagi kaum wanita tersebut. Seperti yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallaahu
’anhu, ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
”Sebaik-baik
shaf laki-laki adalah yang paling pertama (terdepan) dan seburuk-buruk shaf
laki-laki adalah yang paling terakhir (belakang), serta sebaik-baik shaf wanita
adalah yang paling akhir dan seburuk-buruk shaf wanita adalah yang paling
depan.” (HR. Bukhari)
Dekatnya
laki-laki kepada wanita akan membangkitkan gejolak syahwat dan menggerakannya.
Dengan demikian, akan hilanglah inti dari ibadah shalat, yaitu khusyu’ ketika
mengerjakannya. Oleh karena itu, diantara anjuran pembawa syari’at, yaitu
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah menjauhkan laki-laki dari
kaum wanita di dalam masjid. Apabila beliau selesai shalat, beliau diam sejenak
di tempat beliau shalat agar para wanita berpaling (pergi) sebelum kaum
laki-laki mendapati mereka ketika keluar meninggalkan masjid sehingga
menimbulkan campur baur dengan kaum wanita.
Dari
Ummu Salamah radhiallahu ’anha, istri Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam, bahwa apabila kaum wanita di zaman Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam telah mengucapkan salam dalam shalat wajib, mereka
langsung berdiri. Rasululah shalallahu ‘alaihi wasallam dan kaum
laki-laki yang ikut mengerjakan shalat tetap diam di tempat hingga waktu yang
Allah kehendaki. Apabila Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berdiri
maka merekapun berdiri. (HR. Bukhari)
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam adalah pendahulu manusia sebagai panutan,
maka hendaklah mereka menunda sejenak waktu keluar mereka dari tempat
shalatnya, menunggu hingga kaum wanita pergi. Dan bagi kaum wanita, hendaklah
mereka tidak mengakhirkan keluar dari tempat shalat mereka setelah berpalingnya
imam, bahkan hendaklah mereka keluar dan kembali ke rumah masing-masing, dan
hal itu lebih baik bagi mereka (kaum laki-laki dan juga kaum perempuan).
Akan
tetapi jika tempat keluarnya wanita berjauhan dengan tempat keluarnya
laki-laki, dan dengan begitu tidak akan terjadi campur baur, maka tidak mengapa
kaum laki-laki keluar dengan segera setelah imam berpaling, atau kaum wanita
menunggu sejenak di tempat shalat mereka, sebab larangan telah tertiadakan. Wallahu
a’lam.
Catatan
penting: Apabila tempat shalat wanita terpisah dengan tempat shalat laki-laki,
maka sebaik-baik shaf wanita ketika itu adalah yang paling depan, dan
seburuk-buruk tempat adalah shaf paling akhir. Hal itu karena alasan yang
menjadikan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa
seburuk-buruk shaf wanita adalah yang paling depan telah tertiadakan dengan
terpisahnya shaf laki-laki dari shaf wanita, maka keutamaan shaf dalam shalat
kembali kepada shaf terdepan.
***
Disalin
dari buku Fiqih Adab oleh Fuad bin Abdil Aziz asy-Syalhub. Judul asli:
Kitab al-Adab, Penerbit: Griya Ilmu dengan sedikit pengeditan dari redaksi.
Diambil dari: Artikel
Muslimah.Or.Id
0 comments:
Post a Comment