Para
ulama sepakat bahwa kumandang azan itu disyari’atkan. Syari’at yang mulia ini
sudah berlangsung sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga
saat ini.
Lalu
para ulama berbeda pandangan dalam hal hukumnya, apakah azan itu wajib ataukah
sunnah muakkad? Namun yang shahih, hukum azan adalah fardhu kifayah. Jadi tidak
boleh di suatu negeri tidak ada kumandang azan sama sekali.
Dalil
yang menyatakan hukum azan adalah fardhu kifayah adalah:
1-
Azan adalah di antara syi’ar Islam yang besar di mana syi’ar ini tidak pernah
ditinggalkan sepeninggal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita tidak
pernah mendengar ada satu waktu yang kosong dari azan.
2-
Kumandang azan dijadikan patokan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
apakah suatu negeri termasuk negeri Islam ataukah tidak. Dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa,
كَانَ إِذَا غَزَا بِنَا قَوْمًا لَمْ يَكُنْ يَغْزُو بِنَا حَتَّى
يُصْبِحَ وَيَنْظُرَ ، فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا كَفَّ عَنْهُمْ ، وَإِنْ لَمْ
يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ عَلَيْهِمْ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu jika akan menyerang satu kaum, beliau
tidak memerintahkan kami menyerang pada malam hari hingga menunggu waktu subuh.
Apabila azan Shubuh terdengar, maka tidak jadi menyerang. Namun bila tidak
mendengarnya, maka ia menyerang mereka.” (HR. Bukhari no. 610 dan Muslim
no. 382).
3- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memerintahkan untuk dikumdangkan azan dan mengangkat salah seorang jadi
imam. Beliau bersabda,
فَإِذَا
حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ
أَكْبَرُكُمْ
“Jika
waktu shalat telah tiba, salah seorang di antara kalian hendaknya
mengumandangkan azan untuk kalian dan yang paling tua di antara kalian menjadi
imam. ” (HR. Bukhari no. 631 dan Muslim no. 674).
4- Dari Anas bin Malik, ia berkata,
فَأُمِرَ
بِلاَلٌ أَنْ يَشْفَعَ الأَذَانَ وَأَنْ يُوتِرَ الإِقَامَ
“Maka
Bilal diperintah untuk mengumandangkan azan dengan menggenapkan dan
mengumandangkan iqamah dengan mengganjilkan” (HR. Bukhari no. 605 dan
Muslim no. 378).
5- ‘Utsman bin Al ‘Ash berkata bahwa ia
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاتَّخِذْ
مُؤَذِّنًا لاَ يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا
“Angkatlah
muazin yang tidak mencari upah dari azannya.” (HR. Abu Daud no. 531 dan An
Nasai no. 673. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Yang tepat, hukum azan
adalah fardhu kifayah. Tidak boleh jika ada di suatu negeri atau kampung yang
tidak ada azan sama sekali. Demikian pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam
Ahmad dan lainnya.
Sebagian
ulama ada yang menyatakan bahwa hukum azan adalah sunnah. Namun mereka
selanjutnya mengatakan bahwa jika di suatu negeri meninggalkan azan, maka boleh
diperangi. Akan tetapi sebenarnya yang terjadi adalah perselisihan lafzhi.
Karena kebanyakan ulama ada yang memaknakan sunnah dengan maksud jika
ditinggalkan mendapatkan celaan. Jadi hakekatnya yang terjadi adalah perbedaan
lafzhi saja dengan yang berpendapat wajib.
Adapun
yang menyatakan hukum azan adalah sunnah yang artinya jika ditinggalkan tidak
berdosa dan tidak mendapatkan hukuman, pendapat tersebut adalah pendapat yang
keliru. Karena azan adalah bagian dari syi’ar Islam. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sampai akan memerangi suatu negeri yang meninggalkan azan,
ini jelas menunjukkan wajibnya. Jika waktu Shubuh tiba, lalu dikumandangkan
azan, maka negeri tersebut tidak diperangi. Jika tidak ada azan, negeri
tersebut baru diperangi. Juga ada hadits dalam sunan Abi Daud dan An Nasai dari
Abu Ad Darda’, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
مَا
مِنْ ثَلاَثَةٍ فِى قَرْيَةٍ وَلاَ بَدْوٍ لاَ تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلاَةُ إِلاَّ
قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا
يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“Tidaklah
tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di
lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah
kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya serigala itu hanya akan menerkam
kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).”[1] Allah Ta’ala
juga berfirman,
اسْتَحْوَذَ
عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ
الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Syaitan
telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka
itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah
golongan yang merugi.” (QS. Al Mujadilah: 19). (Majmu’ Al Fatawa,
22: 64-65).
Semoga
bermanfaat. Hanyalah Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Majmu’atul
Fatawa, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm, cetakan keempat,
tahun 1432 H.
Shahih
Fiqh Sunnah,
Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.
—
Disusun
di pagi hari penuh berkah, 3 Jumadal Ula 1435 H di Warak, Girisekar
Penulis:
Muhammad Abduh
Tuasikal
Artikel
Muslim.Or.Id
[1] HR. Abu Daud no. 547, An-Nasai no. 838, dan sanadnya
dinyatakan hasan oleh An-Nawawi dalam Riyadh Ash-Shalihin no. 344.
Diambil dari: Muslim.or.id
0 comments:
Post a Comment