Monday, April 14, 2014

Taufik Hanya Dari Allah

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, setiap hari kita berdoa di dalam sholat kita ‘ihdinash shirathal mustaqim’ yang artinya; “Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
Hidayah atau petunjuk itu -sebagaimana diterangkan para ulama- terbagi dua; hidayah berupa ilmu dan pemahaman dan hidayah berupa kesadaran dan taufik untuk melakukan amalan. Kedua macam hidayah ini selalu kita butuhkan.
Hidayah yang pertama bisa kita peroleh melalui perantara siapa saja, baik dari ustadz, kiyai, guru, atau teman dan orang tua kita. Adapun hidayah yang kedua adalah khusus dimiliki dan hanya bisa diberikan oleh Allah semata. Sebagaimana dalam kisah yang masyhur tentang meninggalnya paman Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abu Thalib yang tidak mau mengucapkan kalimat syahadat.
Nikmat hidayah ini -baik hidayah ilmu ataupun hidayah amalan- adalah sebesar-besar nikmat, dan yang terbesar diantara keduanya adalah nikmat hidayah berupa amalan alias hidayah taufik dan kesadaran. Sehingga dengan hidayah inilah kita bisa menjalankan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan.
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Beribadah kepada Allah adalah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sementara seorang hamba tidak akan bisa mewujudkan hal itu kecuali dengan petunjuk dan bantuan dari-Nya. Oleh sebab itu, setiap hari pula kita membaca ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ [hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan]; yang di dalamnya terkandung perintah untuk beribadah dan berdoa kepada Allah serta bertawakal dan memohon pertolongan kepada-Nya semata, laa haula wa laa quwwata illa billaah…
Tanpa bantuan dan pertolongan Allah, kita tidak bisa melakukan apa-apa. Apakah itu sholat, puasa, zakat, haji, sedekah, dakwah, dan lain sebagainya. Semuanya bisa terlaksana dengan rahmat dan taufik dari Allah kepada kita. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits sahih dan populer dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu yang mengisahkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh, Allah lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada bayinya.”
Apabila demikian, maka seharusnya ketaatan dan amalan yang kita lakukan semakin membuat kita merendah dan tunduk kepada Allah serta rendah hati kepada sesama. Demikianlah sifat Ibadurrahman; hamba-hamba pilihan yang diistimewakan Allah.
Sebagaimana sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan dalam riwayat bahwa beliau dalam sehari bisa beristighfar sampai seratus kali. Beliau juga mengajarkan doa memohon ampunan kepada sahabat terbaik yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu, ‘Allahumma inni zalamtu nafsi zulman katsiiran… faghfirlii maghfiratan min ‘indika, dst’ [Ya Allah, aku telah menzalimi diriku dengan banyak kezaliman... oleh sebab itu ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu...]
Demikian pula generasi terbaik umat ini -yaitu para sahabat- sebagaimana dikisahkan oleh seorang tabi’in Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah, “Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara mereka semuanya merasa takut dirinya terjangkit kemunafikan.”
Ibrahim at-Taimi rahimahullah -seorang ulama dan ahli ibadah diantara tabi’in- bahkan mengatakan, “Tidaklah aku menghadapkan ucapanku kepada amalanku melainkan aku khawatir menjadi orang yang didustakan.” Maksudnya, karena berlainan antara ucapan dengan perbuatannya, hal itu beliau ucapkan dengan penuh ketawadhu’an. Padahal, siapakah mereka dan siapa pula kita? Tentu kita lebih pantas khawatir daripada mereka…
Karena itulah, semestinya semakin dalam ilmu yang kita peroleh dan semakin luas pengetahuan agama yang kita serap, maka rasa takut kepada Allah di dalam hati kita pun haruslah semakin besar. Bukankah Allah telah berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Hanya saja merasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya yaitu para ulama.” (QS. Fathir: 28)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakikat ilmu itu adalah khosy-yah/rasa takut kepada Allah.” Tidaklah kita ragukan bahwa menimba ilmu harus melalui riwayat -yaitu riwayat hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan juga kitab-kitab ulama. Meskipun demikian, semata-mata banyaknya hafalan dan koleksi buku bukanlah standar dan parameter keilmuan yang sebenarnya.
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah pernah mengatakan, “Seorang yang berilmu tetap dalam keadaan bodoh selama dia belum mengamalkan ilmunya, apabila dia telah mengamalkannya barulah dia menjadi seorang yang benar-benar ‘alim.”
Inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka niscaya Allah pahamkan kepadanya urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)
Yang dimaksud dengan ‘fikih’ atau kepahaman agama yang menjadi ciri kebaikan seorang bukanlah semata-mata keluasan ilmu dan pengetahuan, akan tetapi ilmu yang membuahkan amalan, ketakwaan, dan rasa takut kepada Allah. Oleh sebab itu, ketika salah seorang salaf yang bernama Sa’ad bin Ibrahimrahimahullah ditanya, “Siapakah orang yang paling fakih diantara ulama di Madinah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa diantara mereka.”
Oleh sebab itu pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk berdoa -seusai sholat subuh- dengan membaca, ‘Allahumma inni as’aluka ‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqobbalan’ [Ya Allah, aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima]
Dari sini pula, kita bisa memahami bagaimana gelar ‘tabi’in terbaik’ diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang lelaki yang bersahaja, ikhlas, dan sangat berbakti kepada ibunya, yaitu Uwais al-Qarni rahimahullah.
Meskipun demikian, ini semua tidaklah mengecilkan arti menimba ilmu dan mengajarkannya. Bahkan Imam Bukhari rahimahullah telah menegaskan di dalam Sahihnya ‘Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’ yang menunjukkan betapa pentingnya ilmu dalam melandasi setiap ucapan dan perbuatan insan.
Bahkan, sahabat Abud Darda’ radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Barangsiapa yang menilai bahwa berangkat di pagi hari atau di sore hari untuk menimba ilmu bukan termasuk jihad, maka sungguh akal dan pikirannya kurang beres.”
Bahkan, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah -atau ulama yang lain- juga menyatakan bahwa ‘menyampaikan as-Sunnah itu jauh lebih utama -dan lebih dahsyat pengaruhnya- daripada melontarkan anak panah kepada musuh’. Allahu akbar!
Demikian pula Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah menyatakan dalam ucapan beliau yang terkenal bahwa ‘orang yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid’.
Dari sinilah kita bisa memahami urgensi ilmu dan urgensi amalan. Oleh sebab itu sebagian salaf ketika ditanya, “Manakah yang lebih kamu sukai ilmu atau amal?” Beliau menjawab, “Tidak boleh meninggalkan ilmu dengan dalih untuk fokus beramal, dan tidak boleh meninggalkan amal dengan dalih fokus untuk berilmu.”
Inilah yang sebenarnya telah kita ikrarkan di dalam sholat kita dalam bacaan ‘shirathalladzina an’amta ‘alaihim’ [yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka]. Sebab nikmat yang dimaksud di sini sebagaimana diterangkan para ulama adalah nikmat ilmu dan amalan. Tanpa ilmu, maka kita akan mengikuti kesesatan kaum Nasrani, dan tanpa amal kita akan meniti jejak kaum Yahudi yang dimurkai.
Apabila kita cermati dalam diri kita, maka akan kita dapati bahwa penyimpangan manusia bersumber dari kedua celah ini; yaitu teledor dalam menimba ilmu, atau teledor dari mengamalkannya. Kedua pintu besar inilah yang mengantarkan manusia kepada kehancuran, penyesalan, dan kerugian.
Oleh sebab itu Allah ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Iman tidak akan terwujud dengan benar tanpa ilmu. Demikian pula amal, tidak bisa menjadi salih sekedar bermodal niat yang baik, namun ia juga harus benar yaitu sesuai tuntunan. Untuk bisa ikhlas dan mengikuti tuntunan pun tidak bisa dilepaskan dari ilmu. Betapa banyak orang yang mengira dirinya ikhlas, namun tidak ikhlas. Betapa banyak orang yang mengira dirinya mengikuti sunnah, namun ternyata mengekor bid’ah.
Demikian pula, ilmu yang tidak membuahkan amal laksana pohon yang tak berbuah. Ilmu yang tidak melahirkan ketakwaan justru akan berujung bencana. Bukankah termasuk orang yang akan dinyalakan api neraka dengan membakar mereka pertama-tama adalah seorang ahli ilmu yang tidak mengamalkan ilmunya?
Dari situlah, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan resep dari surat al-’Ashr di atas, bahwa ‘saling menasihati dalam kebenaran’ adalah obat untuk mengatasi fitnah syubhat/kerancuan pemahaman, sedangkan ‘saling menasihati dalam kesabaran’ adalah obat untuk menyembuhkan penyakit keinginan yang terlarang/fitnah syahwat. Akibat fitnah syubhat, manusia akan terseret dalam kesesatan ala Nasrani. Akibat fitnah syahwat, manusia akan tenggelam dalam penyimpangan ala Yahudi.
Inilah sebagian diantara rahasia taufik dan hidayah yang tersembunyi dan banyak tidak diketahui. Semoga bermanfaat bagi kita semuanya. Wallahu waliyyut taufiq.
Penulis: Ari Wahyudi
Diambil dari: Muslim.Or.Id

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
- See more at: http://tutorial89.blogspot.com/2014/08/cara-mudah-membuat-tombol-share-di.html#sthash.naEXoN8D.dpuf