Kaum
muslimin yang dirahmati Allah, setiap hari kita berdoa di dalam sholat kita ‘ihdinash
shirathal mustaqim’ yang artinya; “Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
Hidayah
atau petunjuk itu -sebagaimana diterangkan para ulama- terbagi dua; hidayah
berupa ilmu dan pemahaman dan hidayah berupa kesadaran dan taufik untuk
melakukan amalan. Kedua macam hidayah ini selalu kita butuhkan.
Hidayah
yang pertama bisa kita peroleh melalui perantara siapa saja, baik dari ustadz,
kiyai, guru, atau teman dan orang tua kita. Adapun hidayah yang kedua adalah
khusus dimiliki dan hanya bisa diberikan oleh Allah semata. Sebagaimana dalam
kisah yang masyhur tentang meninggalnya paman Rasulullahshallallahu ‘alaihi
wa sallam, yaitu Abu Thalib yang tidak mau mengucapkan kalimat syahadat.
Nikmat
hidayah ini -baik hidayah ilmu ataupun hidayah amalan- adalah sebesar-besar
nikmat, dan yang terbesar diantara keduanya adalah nikmat hidayah berupa amalan
alias hidayah taufik dan kesadaran. Sehingga dengan hidayah inilah kita bisa
menjalankan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan.
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)
Beribadah
kepada Allah adalah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Sementara seorang hamba tidak akan bisa mewujudkan hal itu kecuali dengan
petunjuk dan bantuan dari-Nya. Oleh sebab itu, setiap hari pula kita membaca
‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ [hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya
kepada-Mu kami meminta pertolongan]; yang di dalamnya terkandung perintah untuk
beribadah dan berdoa kepada Allah serta bertawakal dan memohon pertolongan
kepada-Nya semata, laa haula wa laa quwwata illa billaah…
Tanpa
bantuan dan pertolongan Allah, kita tidak bisa melakukan apa-apa. Apakah itu
sholat, puasa, zakat, haji, sedekah, dakwah, dan lain sebagainya. Semuanya bisa
terlaksana dengan rahmat dan taufik dari Allah kepada kita. Sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits sahih dan populer dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu yang
mengisahkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh,
Allah lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada bayinya.”
Apabila
demikian, maka seharusnya ketaatan dan amalan yang kita lakukan semakin membuat
kita merendah dan tunduk kepada Allah serta rendah hati kepada sesama.
Demikianlah sifat Ibadurrahman; hamba-hamba pilihan yang diistimewakan
Allah.
Sebagaimana
sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan
dalam riwayat bahwa beliau dalam sehari bisa beristighfar sampai seratus kali.
Beliau juga mengajarkan doa memohon ampunan kepada sahabat terbaik yaitu Abu
Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu, ‘Allahumma inni zalamtu
nafsi zulman katsiiran… faghfirlii maghfiratan min ‘indika, dst’ [Ya Allah,
aku telah menzalimi diriku dengan banyak kezaliman... oleh sebab itu ampunilah
aku dengan ampunan dari sisi-Mu...]
Demikian
pula generasi terbaik umat ini -yaitu para sahabat- sebagaimana dikisahkan oleh
seorang tabi’in Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah, “Aku telah berjumpa
dengan tiga puluh orang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sementara mereka semuanya merasa takut dirinya terjangkit
kemunafikan.”
Ibrahim
at-Taimi rahimahullah -seorang ulama dan ahli ibadah diantara
tabi’in- bahkan mengatakan, “Tidaklah aku menghadapkan ucapanku kepada amalanku
melainkan aku khawatir menjadi orang yang didustakan.” Maksudnya, karena
berlainan antara ucapan dengan perbuatannya, hal itu beliau ucapkan dengan
penuh ketawadhu’an. Padahal, siapakah mereka dan siapa pula kita? Tentu kita
lebih pantas khawatir daripada mereka…
Karena
itulah, semestinya semakin dalam ilmu yang kita peroleh dan semakin luas
pengetahuan agama yang kita serap, maka rasa takut kepada Allah di dalam hati
kita pun haruslah semakin besar. Bukankah Allah telah berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Hanya
saja merasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya yaitu para ulama.”
(QS. Fathir: 28)
Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Bukanlah ilmu itu
dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakikat ilmu itu adalah khosy-yah/rasa
takut kepada Allah.” Tidaklah kita ragukan bahwa menimba ilmu harus melalui
riwayat -yaitu riwayat hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam- dan juga kitab-kitab ulama. Meskipun demikian, semata-mata
banyaknya hafalan dan koleksi buku bukanlah standar dan parameter keilmuan yang
sebenarnya.
Fudhail
bin ‘Iyadh rahimahullah pernah mengatakan, “Seorang yang
berilmu tetap dalam keadaan bodoh selama dia belum mengamalkan ilmunya, apabila
dia telah mengamalkannya barulah dia menjadi seorang yang benar-benar ‘alim.”
Inilah
yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa
yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka niscaya Allah pahamkan kepadanya
urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)
Yang
dimaksud dengan ‘fikih’ atau kepahaman agama yang menjadi ciri kebaikan seorang
bukanlah semata-mata keluasan ilmu dan pengetahuan, akan tetapi ilmu yang
membuahkan amalan, ketakwaan, dan rasa takut kepada Allah. Oleh sebab itu,
ketika salah seorang salaf yang bernama Sa’ad bin Ibrahimrahimahullah ditanya,
“Siapakah orang yang paling fakih diantara ulama di Madinah?” Beliau menjawab,
“Yaitu orang yang paling bertakwa diantara mereka.”
Oleh
sebab itu pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
kepada kita untuk berdoa -seusai sholat subuh- dengan membaca, ‘Allahumma
inni as’aluka ‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqobbalan’
[Ya Allah, aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal
yang diterima]
Dari
sini pula, kita bisa memahami bagaimana gelar ‘tabi’in terbaik’ diberikan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang lelaki
yang bersahaja, ikhlas, dan sangat berbakti kepada ibunya, yaitu Uwais
al-Qarni rahimahullah.
Meskipun
demikian, ini semua tidaklah mengecilkan arti menimba ilmu dan mengajarkannya.
Bahkan Imam Bukhari rahimahullah telah menegaskan di dalam
Sahihnya ‘Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’ yang menunjukkan betapa
pentingnya ilmu dalam melandasi setiap ucapan dan perbuatan insan.
Bahkan,
sahabat Abud Darda’ radhiyallahu’anhu pernah berkata,
“Barangsiapa yang menilai bahwa berangkat di pagi hari atau di sore hari untuk
menimba ilmu bukan termasuk jihad, maka sungguh akal dan pikirannya kurang
beres.”
Bahkan,
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah -atau ulama yang lain- juga
menyatakan bahwa ‘menyampaikan as-Sunnah itu jauh lebih utama -dan lebih
dahsyat pengaruhnya- daripada melontarkan anak panah kepada musuh’. Allahu
akbar!
Demikian
pula Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah menyatakan dalam
ucapan beliau yang terkenal bahwa ‘orang yang membantah ahli bid’ah adalah
mujahid’.
Dari
sinilah kita bisa memahami urgensi ilmu dan urgensi amalan. Oleh sebab itu
sebagian salaf ketika ditanya, “Manakah yang lebih kamu sukai ilmu atau amal?”
Beliau menjawab, “Tidak boleh meninggalkan ilmu dengan dalih untuk fokus
beramal, dan tidak boleh meninggalkan amal dengan dalih fokus untuk berilmu.”
Inilah
yang sebenarnya telah kita ikrarkan di dalam sholat kita dalam bacaan
‘shirathalladzina an’amta ‘alaihim’ [yaitu jalannya orang-orang yang Engkau
berikan nikmat atas mereka]. Sebab nikmat yang dimaksud di sini sebagaimana
diterangkan para ulama adalah nikmat ilmu dan amalan. Tanpa ilmu, maka kita
akan mengikuti kesesatan kaum Nasrani, dan tanpa amal kita akan meniti jejak
kaum Yahudi yang dimurkai.
Apabila
kita cermati dalam diri kita, maka akan kita dapati bahwa penyimpangan manusia
bersumber dari kedua celah ini; yaitu teledor dalam menimba ilmu, atau teledor
dari mengamalkannya. Kedua pintu besar inilah yang mengantarkan manusia kepada
kehancuran, penyesalan, dan kerugian.
Oleh
sebab itu Allah ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ (3)
“Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling
menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Iman
tidak akan terwujud dengan benar tanpa ilmu. Demikian pula amal, tidak bisa
menjadi salih sekedar bermodal niat yang baik, namun ia juga harus benar yaitu
sesuai tuntunan. Untuk bisa ikhlas dan mengikuti tuntunan pun tidak bisa
dilepaskan dari ilmu. Betapa banyak orang yang mengira dirinya ikhlas, namun
tidak ikhlas. Betapa banyak orang yang mengira dirinya mengikuti sunnah, namun
ternyata mengekor bid’ah.
Demikian
pula, ilmu yang tidak membuahkan amal laksana pohon yang tak berbuah. Ilmu yang
tidak melahirkan ketakwaan justru akan berujung bencana. Bukankah termasuk
orang yang akan dinyalakan api neraka dengan membakar mereka pertama-tama
adalah seorang ahli ilmu yang tidak mengamalkan ilmunya?
Dari
situlah, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan resep dari
surat al-’Ashr di atas, bahwa ‘saling menasihati dalam kebenaran’ adalah obat
untuk mengatasi fitnah syubhat/kerancuan pemahaman, sedangkan ‘saling
menasihati dalam kesabaran’ adalah obat untuk menyembuhkan penyakit keinginan
yang terlarang/fitnah syahwat. Akibat fitnah syubhat, manusia akan terseret
dalam kesesatan ala Nasrani. Akibat fitnah syahwat, manusia akan tenggelam
dalam penyimpangan ala Yahudi.
Inilah sebagian diantara
rahasia taufik dan hidayah yang tersembunyi dan banyak tidak diketahui. Semoga
bermanfaat bagi kita semuanya. Wallahu waliyyut taufiq.
Penulis:
Ari Wahyudi
Diambil
dari: Muslim.Or.Id
0 comments:
Post a Comment