Sujud merupakan
salah satu rukun dalam peribadatan sholat. Tidak sah sholat jika tidak
melaksanakan sujud. Oleh sebab itu seorang muslim seyogyanya mengerti tentang
masalah sujud ini, baik tata ca-ranya maupun waktunya.
Selain itu, penjelasan tentang
sujudpun tidak berhenti samapai disitu, karena ter-nyata dalam Islam ada
sujud-sujud lain yang juga Rasululloh –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam-
ajarkan kepada ummatnya. Diantara sujud-sujud itu ada-lah:
Sujud Tilawah
Ibnu Hazm Al-Muhalla
V: 105, 106, mengatakan, “Di dalam al-Qur’an terda-pat empat belas ayat sajdah:
pertama di peghujung surah al-A’raf: (26), kedua surah ar-Ra’d: (15), ketiga
surah an-Nahl: (50), keempat surah al Israa’: (109), kelima surah Maryam:
(158), keenam surah al-Hajj: (18), sedang ayat 77 dari surah al-Hajj itu bu-kan
ayat sajdah, ketujuh surah al-Furqaan (60), ke delapan surah an-Naml: (26),
ke-sembilan surah a-Sajdah: (15), kesepuluh surah as-Shad: (24), kesebelas
surah Fus-hilat: (38), kedua belas surah an-Najm: 62, ketiga belas surah
al-Insyiqaq: (21), dan al-‘Alaq: (19).”
Hukum Sujud Tilawah
Dalam halaman
yang sama, Ibnu Hazm menegaskan, “Sujud tilawah bukan wajib namun sekedar
keuta-maan (anjuran) dalam shalat fardhu, dalam shalat thathawwu (sunnah)
dan juga di luar shalat, serta ketika matahari terbit dan tebenam. Boleh
menghadap kiblat dan juga boleh tidak; boleh dalam keadaan bersuci boleh juga
tidak dalam keadaan bersuci.”
Adapun hukum sujud tilawah
adalah sunnah, bukan wajib, karena Nabi –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam-
pernah membaca surah an-Najm, lalu sujud (HR. Bukhori dan Muslim, Abu Dawud
IV: 282 no: 1393, Nasa’I II: 160). Zaid bin Tsabit pernah membacanya
(surah an-Najm) dihadapkan Beliau, Beliau tidak su-jud.” (HR. Bukhori
Muslim, Nasa’I II: 160, ‘Abu Dawud no: 1391 dan Tirmidzi II: 44 no: 573).
Hal ini menunjukkan kebolehan suju tilawah ketika membaca ayat sajdah,
sebagai-mana yang telah ditegaskan oleh Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:
555.
Dalam Muhalla
V: 11, Ibnu Hazm berkata lagi, “Adapun sujud tilawah tanpa wudhu’ sebelumnya
dan tidak menghadap kearah kiblat, sesuai dengan kemauan yang bersangkutan,
adalah ia bukan shalat, padahal Ra-sululloh –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam-
sudah menegaskan:
Shalat malam dan siang dua dua (Shahih:
shahih Abu Daud no: 115, ‘Aunul Ma’bud IV: 173 no: 1281, Tir-midzi II: 54 no:
594, Ibnu Majah I: 419 no: 1322 dan Nasa’I III: 227)
Jadi yang
kurang dari dua raka’at tidak disebut shalat, kecuali ada nash yang menegaskan
bahwa ia sebagai shalat, seperti satu raka’at shalat khauf, maupun shalat
witir, shalat janazah. Sedangkan mengenai sujud tilawah sama sekali belum
didapati nash yang menegaskan bahwa ia sebagai shalat.”
Keutamaan Sujud Tilawah
Dari Abu
Hurairah -Radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasululloh –Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam- bersabda, “Apabila Bani Adam membaca ayat sajdah lalu sujud
(tilawah), niscaya syaitan menjauh sambil menangis, dan berseru, ‘Sungguh
celaka, dia diperintahkan sujud (oleh Alloh) lalu sujud, maka ia berhak
men-dapat surga; sedang aku diperintahkan sujud namun aku durhaka, maka
ba-gianku adalah neraka.’” (HR. Muslim)
Dzikir ketika sujud tilawah:
(اللّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ
وَأَنْتَ رَبِيْ سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ
فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْن (رواه الترمذي
“Ya Allah kepada-Mu aku
bersujud, kepada-Mu aku berserah diri, ke-pada-Mu aku beriman, Engkau Tuhan-ku
bersujud wajahku kepada Tuhan yang menciptakannya, yang mem-belah pendengaran
dan penglihatan-nya dengan Daya dan Kekuatan-Nya, Maha Suci Allah sebaik-baik
Pencipta”. (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah 2/474)
Sujud Syukur
Dianjurkan bagi orang yang
mendapat nikmat, atau selamat dari petaka, ataupun mendapat berita yang
menyenangkan agar tunduk sujud demi meneladani Nabi –Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam-.
“Dari Abu Bakrah -Radhiyallahu
‘anhu- bahwa nabi –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam- apabila mendapat
khabar yang menyenang-kan hati, segera tunduk sujud karena Alloh –Subhanahu
wa Ta’ala-.” (Hasan: Shahih Ibu Majah no: 1143, Ibnu Majah I: 446 no
1394, dan la-fazh ini baginya, ‘Aunul Ma’bud VII no: 2757, Tirmidzi III: 69 no:
1626)
Adapun hukum sujud syukur adalah
sunnah.
Sujud Sahwi
Telah sah bahwa
nabi –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam- pernah lupa dalam shalat, dan juga
sah darinya, bahwa Rasululloh –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam- bersabda,
“Sesungguhnya saya hanyalah manusia (biasa), saya bisa lupa sebagaimana kamu
sekalian lupa; karena itu manakala aku lupa, ingatkan saya!” (HR. Bukhori)
Nabi –Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam- telah mensyariatkan kepada ummatnya sejumlah ketentuan tentang
sujud sahwi, yang penulis ringkas sebagai berikut (FiqhusSunnah I: 190).
Apabila lupa duduk
tasyahhud awal.
Dari Abdullah
bin Buhainah -Radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Rasululloh –Shalallahu
‘alaihi wa Sallam- shalat bersama kami dua raka’at dari sebagian shalat
lima waktu, kemudian beliau bangun tanpa duduk (tahiyyat awal), maka para
sahabatpun berdiri mengikutinya. Tatkala Rasululloh –Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam- menyelesaikan shalatnya dan kami memperhatikan ucapan
salamnya, ternyata Beliau ber-takbir sebelum salam, lalu sujud dua kali, lantas
duduk lalu memberi salam.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari III: 92 no: 1224,
Muslim I: 399 no: 570, Nasa’I III: 19, ‘Aunul Ma’bud III: 347 no: 1021,
Tirmidzi I: 242 no: 389 dan Ibnu Majah I: 381 no: 1206).
Dari al-Mughirah bin Syu’ban -Radhiyallahu
‘anhu- bahwa Rasululloh –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam- bersabda,
“Apa-bila seorang di antara kamu bangun dari raka’at kedua, namun belum
sem-purna berdiri, maka hendaklah duduk (lagi); tetapi jika sudah sempurna
ber-dirinya, maka janganlah duduk (lagi) dan hendaklah ia sujud sahwi dua
kali!” (Shahih: Irwa-ul Ghalil II: 109-110, Abu Dawud III: 350 no: 1023,
Ibnu Majah I: 381 no: 1208).
Kelebihan Raka’at (Jika ia
shalat 5 raka’at)
Dari Abdullah -Radhiyallahu
‘anhu- bahwa Rasululloh –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam- pernah shalat
zhuhur lima raka’at, lalu ditanyakan kepadanya, “Apakah shalat ini (sengaja)
ditambah? Jawab Beliau, “Ada apa?” jawab Abdullah, “Engkau telah shalat lima
raka’at.” Maka kemudian Beliau langsung sujud sahwi dua kali sesudah
mengucapkan salam. (HR. Bukhori Muslim, Abu Dawud III: 325 no: 1006,
Tirmidzi I: 243 no: 390, Ibnu Majah I: 380 no: 1205 dan Nasa’I III: 31).
Kurang Raka’at:
Dari Abu
Hurairah -Radhiyallahu ‘anhu- bahwa Ro-sululloh –Shalallahu ‘alaihi
wa Sallam- pernah shalat dua raka’at, terus salam, kemudian Dzul
Yadain bertanya kepadanya, “Apakah shalat ini telah dipendekkan?, Ataukah lupa,
Ya Rasululloh?” Rasululloh –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam- balik
bertanya, apakah pertanyaan Dzul Yadain ini benar?” Rasululloh shalat dua
raka’at lagi, lalu mengucapkan salam, lalu takbir, kemudian sujud sahwi seperti
sujud biasa atau lebih panjang, kemudian bangun (dari sujud kedua), duduk lalu
salam. (HR. Bukhori Muslim, Abu Dawud III: 311 no: 995, Tirmidzi I: 247 no:
397, Nasa’I III: 30 dan Ibnu Majah I: 383 no: 1214).
Ragu-ragu, tidak tahu berapa
jumlah raka’atnya:
Dari Ibrahim
dari al-Qamah bahwa Abdullah Ibnu Mas’ud -Radhiyallahu ‘anhu- bertutur,
“Rasululloh –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam- telah shalat (Ibrahim
berkata, “Lebih atau kurang”) maka tatkala Rasululloh mengucapkan salam, ada
seorang sahabat bertanya kepadanya, “Ya Rasululloh, apakah terjadi sesuatu pada
shalat begini, be-gini.” Kemudian beliau merapikan ke-dua kakinya dan menghadap
kiblat, lalu sujud sahwi dua kali, kemudian mengucapkan salam. Setelah itu
Ra-sululloh menghadap kami, lalu bersabda, Sesungguhnya, kalau terjadi sesuatu
dalam shalat, niscaya aku sampaikan ke-pada kalian, namun sesungguhnya aku
hanyalah manusia biasa, saya (bisa) lupa sebagaimana kamu lupa. Maka dari itu,
manakala saya lupa, ingatkan-lah; apabila seorang diantara kamu ragu-ragu dalam
shalatnya, maka pilih-lah yang lebih diyakini kebenaran-nya, lalu sempurnakanlah
shalatnya. Ke-mudian sujudlah dua kali (Sebagai suj-ud sahwi)”. (HR. Bukhori
Muslim, Abu Dawud III: 326 no: 1007, Nasa’I III: 31 serta Ibnu majah I: 382 no:
1211).
Dan memilih yang lebih diyakini
de-ngan cara sebagaimana yang dikata-kan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu al-Fatawa
XXIII: 13 “Mengingat apa yang kita baca dalam shalat, sehingga kita mencoba
mengingat bahwa kita telah membaca surah dalam dua raka’at, se-hingga kita
telah shalat dua raka’at, bukan satu raka’at dan mengingat bahwa dia telah
tasyhahud awal, dengan de-mikian dia mengetahui bahwa dia te-lah shalat dua
raka’at dan bukan satu rakaat dan bahwa kita telah shalat tiga raka’at bukan
dua raka’at, dan kita ingat, bahwa kita telah membaca surah al Fatihah saja
pada raka’at ketiga dan keempat dengan demikian kita tahu bahwa kita teah
shalat empat raka’at, bukan tiga raka’at. Begitulah manakala kita berusaha
mencari yang lebih dekat kepada yang benar, niscaya hilanglah keragu-raguan dan
ini berlaku bagi Imam atau ketika shalat sendirian.”
Manakala sudah berusaha yang
lebih dekat kepada yang benar, namun be-lum juga jelas bagi kita, maka kita
pilih yang lebih meyakinkan, yaitu bilangan yang lebi sedikit, sebagaimana yang
digariskan dalam hadits di bawah ini:
Dari Abu Sa’id al-Khudri -Radhiyallahu
‘anhu-, bahwa Rosululloh –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam- bersabda,
“Apabila se-orang diantara kamu syak, ragu-ragu dalam shalatnya, yaitu tidak
tahu be-rapa raka’at yang telah dikerjakan-nya, tiga raka’at ataukah empat
raka’at? Maka buanglah keraguan itu dan lan-jutkanlah shalatnya pada apa yang
diyakininya,. Kemudian sujudlah dua raka’at (sujud sahwi) sebelum salam. Jika
ternyata ia telah shalat lima (raka’at), maka sujud itu sebagai penggenap
shalatnya; dan jika ternyata ia sudah shalat dengan sempurna empat raka’at,
maka dua sujud itu untuk merendah-kan syaitan.” (HR. Bukhori, Muslim I: 400
no: 571, ‘Abu Dawud III: 330 no: 1011 dan Nasa’I III: 27).
Hukum Sujud Sahwi
Sujud sahwi wajib hukumnya,
karena perintah Nabi –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam-, sebagaimana
ter-sebut dalam hadts di atas dan Rasululloh –Shalallahu ‘alaihi wa Sallam-
selalu sujud sahwi setiap kali menga-lami kelupaan, tak pernah absen barang
sekalipun.
Tempat sujud sahwi
Dalam majmu’
Fatawa jilid XXIII: 24, Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah- menulis, “Pendapat
yang paling kuat yaitu yang membedakan antara kelebihan raka’at dengan
kekurangan raka’at, antara syak (ragu-ragu) yang disertai dengan usaha memilih
mana yang lebih dekat de-ngan kebenaran, juga antara syak yang disertai dengan
keputusan memilih yang diyakini. Semua ini mengacu kepada nash-nash yang kuat,
dan perbedaan yang terjadi padanya adalah perbedaan yang logis.
“yaitu apabila terjadi
kekurangan, se-perti lupa tasyahhud awal, maka shalat yang dikerjakan
membutuhkan pe-nambahan , penambahan dilakukan se-belum salam agar dengannya
shalat tersebut menjadi sempurna; karena se-sungguhnya salam adalah penutup
sha-lat sehingga setelah salam, yang ber-sangkutan boleh melakukan peker-jaan
selain shalat.
Kalau disebabkan kelebihan,
misalnya kelebihan satu raka’at, maka sujud sah-winya tidak boleh dimasukkan
dalam shalat yang jumlah raka’atnya yang sudah kelebihan ini, bahkan sujaud
sahwi ini dilakukan sesudah mengucap-kan salam, karena sebagai pengusir/
penakluk syaitan dan kedudukannya sama dengan satu rakaat sendiri yang
fungsinya sebagai penambah bagi shalat yang kurang raka’atnya. Karena Nabi
–Shalallahu ‘alaihi wa Sallam- menjadikan dua kali sujud ini sebagai satu
raka’at.”
Begitu juga apabila seseorang
ragu-ragu sambil berusaha memilih yang lebih dekat kepada yang benar, maka ia
harus menyempurnakan shalatnya dan sujud sahwinya setelah salam sebagai
pele-cehan/ penghinaan terhadap syaitan. Demikian manakala ia terlanjur
me-ngucapkan salam padahal belum sem-purna, masih kurang shalatnya, lau ia
menyempurnakannya, sedangkan uca-pan salam pada akhir shalat penyem-purna ini
sebagai tambahan; dan sujud sahwinya dilakukan sesudah salam karena sebagai
penghinaan terhadap syetan.”
Adapun apabila ia syak (ragu)
dan tidak jelas baginya mana yang lebih kuat, maka di sini mungkin ia shalat
empat atau pun mungkin lima raka’at, nah jika ia telah shalat lima raka’at,
maka sujud sahwinya itu sebagai penggenap bagi jumlah raka’at shalatnya,
sehingga berarti seakan-akan ia shalat enam ra-ka’at dan bukan lima raka’at dan
sujud sahwi ini didasarkan sebelum salam.
Inilah pendapat yang kami (Ibnu
Tai-miyah) pegang yang mengacu kepada semua hadits tentang sujud sahwi, tak
satu hadits pun yang terabaikan, de-ngan berpegangan kepada qiyas yang shahih
dalam menentukan permasa-lahan yang belum diketahui nashnya dan dalam
menyamakan sesuatu yang belum ditegaskan oleh nash syar’i.
Sujud sahwi karena
meninggalkan sebagian amalan sunnah.
Barangsiapa
meninggalkan amalan sun-nah karena lupa, maka dianjurkan sujud sahwi; berdasarkan
hadits:
Nabi –Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam- bersabda, “Bagi setiap kelu-paan ada dua kali sujud.” (Hadits
Hasan: Shahih Abu Daud no: 917, ‘Aunul Ma’ bud III: 357 no: 1025, dan Ibnu
Majah I: 385 no: 1219). □ Red
Dari berbagai sumber
0 comments:
Post a Comment