Islam adalah agama yang menjaga kemuliaan Manusia.
Seluruh syari’at yang ditetapkan dalam Islam mengandung manfaat dan
memuliakan manusia. Dan setiap yang membahayakan manusia diharamkan
dalam Islam. Di antara bentuk kemuliaan Islam adalah menganjurkan
pernikahan. Nikah disyari’atkan dalam Islam dalam bentuk memuliakan
manusia agar merasakan ketentraman, kasih sayang dan menjaga keturunan
serta kesucian.
Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Rum ayat 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ
لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Nikah adalah perjanjian yang kuat dan kokoh (miitsaaqon ghaliidha). Nikah itu dibangun di atas niat yang tulus untuk sebuah pergaulan abadi di antara dua insan untuk merealisasikan kehidupan yang penuh kedamaian, ketentraman batin, cinta, dan kasih sayang. Maka, Islam telah menetapkan aturan-aturan nikah dengan sangat jelas untuk memuliakan manusia sesuai dengan kedudukannya dibanding makhluk-makhluk Allah Ta’ala yang lain.
Di antara bentuk praktek nikah yang
tidak sesuai dengan pernikahan dalam Islam adalah nikah mut’ah. Bentuk
pernikahan ini dikenal dengan istilah kawin kontrak. Yang dimaksud nikah
mut’ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas
waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta,
makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka
dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.
(Jami’ Ahkam al-Nisa 3/169-170)
Pada awal-awal masa Islam,
nikah mut’ah pernah dibolehkan dan diharamkan dua kali, yaitu sebelum
perang khaibar lalu diharamkan ketika perang khaibar dan pada tahun
penaklukan yang dikenal dengan nama tahun Authas kemudian diharamkan
selama-lamanya. Pembolehan nikah mut’ah karena pada saat itu masih dalam
proses transisi dari jahiliyah ke Islam. Sebagaimana pengharaman khomer (minuman keras), al-Qur’an tidak mengharamkan secara secara langsung, akan tetapi berangsur sampai khomer tersebut benar-benar diharamkan secara total.
Pengharaman nikah mut’ah telah ditetapkan berdasarkan hadits-hadits mutawatir sebagaimana dalam kitab Nihayah al-Mujtahid.
Dan pendapat beberapa sahabat yang membolehkan nikah mut’ah telah
meralat pendapatnya dan memfatwakan haramnya nikah mut’ah sebagaimana
dijelaskan oleh imam al-Nawawi rahimahulloh.
Pengharaman nikah mut’ah ini sejalan dengan prinsip Islam yang melarang zina dan segala bentuk yang mengarah pada perzinaan. Islam menutup sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor dan menjijikan. Islam mengharamkan perzinaan yang berbalutkan pernikahan, atau pelacuran menggunakan baju kehormatan.
Adapun dalil yang menjelaskan tentang haramnya nikah mut’ah sangat banyak diantaranya adalah:
عَن الرَّبيِع بن سَبْرَة الْجُهَنِىُّ
أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ « يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ
كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِى الاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ
اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ
عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَىْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلاَ تَأْخُذُوا مِمَّا
آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا».
Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya
Radhiallahu anhu, bahwasanya ia bersama Rasulallah Shallallahu alaihi wa
sallam, lalu beliau bersabda: “Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku
telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya hingga hari Kiamat.
Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka, maka biarkanlah! Jangan
ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan.” (HR. Muslim)
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ وَلُحُومِ حُمُرِ الإِنْسِيَّةِ.
Dari Ali radhiallau anhu, dia berkata, “Rasulallah melarang nikah mut’ah pada waktu perang khaibar dan daging keledai negeri.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
عَنْ إِيَاسِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ أَوْطَاسٍ فِى الْمُتْعَةِ ثَلاَثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا.
Dari Iyas bin Salamah dan dari
bapaknya, ia berkata : “Rasulallah Shallallahu alaihi wa sallam telah
memberikan keringanan dalam mut’ah selama tiga hari pada masa perang
Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau melarang
kami” (HR. Muslim)
Hadits-hadits tersebut menunjukan bahwa
nikah mut’ah telah diharamkan secara total dalam Islam. Dan orang yang
masih membolehkan nikah mut’ah tidak lebih dari orang yang melegalkan
perzinaan berbalut agama. Dia adalah hamba syahwat yang tidak
menghormati makna kemuliaan manusia dan kesucian wanita.
Untuk mempertegas tentang keharaman nikah mut’ah, berikut penjelasan ulama empat madzhab tentang nikah mut’ah:
- Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan: “Nikah mut’ah ini bathil menurut madzhab kami.” Demikian pula Imam Al-Kasani dalam kitabnya Bada’i Al-Sana’i (II/272) mengatakan, “Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut’ah”.
- Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334) mengatakan, “Hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut’ah mencapai peringkat mutawatir” Dan dalam kitab Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130) Imam Malik bin Anas mengatakan, “Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil.”
- Dari Madzhab Syafi’i, Imam al-Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm (V/85) mengatakan, “Nikah mut’ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan.” Dan Imam al-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ (XVII/356) mengatakan, “Nikah mut’ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu akad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu.”
- Dari Madzhab Hambali, Imam Ibn Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, “Nikah Mut’ah ini adalah nikah yang bathil.” Dan beliau Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal yang menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah haram.
Dari penjelasan di atas, maka tidak
diragukan lagi bahwa nikah mut’ah adalah praktek pernikahan yang haram.
Jika dilakukan maka perbuatan tersebut sama dengan perbuatan zina.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Umar radhiallahu anhu dengan sanad shahih: Bahwa Umar berkhutbah, “Sesungguhnya Rasulallah mengijinkan kami nikah mut’ah kemudian melarangnya. Demi Allah! Jika ada orang yang telah beristeri kemudian melakukan nikah mut’ah, maka saya akan melakukan hukum rajam kepadanya.”
Ibnu Umar radhiallahu anhu berkata, “Rasulallah melarang nikah mut’ah dan kami bukanlah pezina.” (HR. Ibnu majah)
Dampak dari perbuatan nikah mut’ah
sangat banyak, diantaranya: Mengotori kesucian wanita, mengundang
berbagai penyakit sex bebas seperti AIDS, menghancurkan tatanan rumah
tangga dan masyarakat serta mengaburkan nasab keturunan, dan berbagai
kerusakan lainnya.
(Red-HASMI/Abu Mujahidah al-Ghifari, Lc, M.E.I.)
0 comments:
Post a Comment