Diantara yang banyak dilakukan
panitia zakat fithri di negeri kita adalah mewajibkan adanya lafadz ijab-qabul
dalam zakat fithri. Lafadz ijab artinya lafadz yang diucapkan pembayar zakat
untuk menegaskan perbuatannya membayar zakat fithri, misalnya berkata “saya
serahkan beras ini sebagai zakat fithrah saya dan keluarga… dst”. Lafadz
qabul artinya lafadz yang diucapkan penerima zakat untuk menegaskan bahwa ia
telah menerima zakat tersebut, misalnya berkata “saya terima beras ini
sebagai zakat dari Bapak Fulan ….. dst”. Bahkan sebagian panitia ada yang
berlebihan sehingga menganggap tidak sah zakat fithri jika tanpa lafadz
ijab-qabul. Simak pembahasan berikut.
Zakat adalah sedekah
Perlu diketahui bahwa zakat adalah
bentuk sedekah, yaitu sedekah yang wajib. Sebagaimana dijelaskan dalam Al
Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah:
الصدقة : تطلق بمعنيين : الأول : ما أعطيته من المال قاصدا به
وجه الله تعالى فيشمل ما كان واجبا وهو الزكاة ، وما كان تطوعا .
والثاني : أن تكون بمعنى الزكاة ، أي في الحق الواجب خاصة ،
ومنه الحديث : ” ليس فيما دون خمس ذود صدقة ” (أخرجه البخاري 3 / 323
“Sedekah, dimutlakkan pada 2 makna:
Pertama: harta yang diberikan kepada orang lain dalam rangka mengharap wajah
Allah Ta’ala, mencakup yang wajib yaitu zakat, ataupun yang sunnah.
Kedua: maknanya zakat, yaitu sedekah yang wajib secara khusus. Berdasarkan hadits: ‘yang kurang dari lima dzaud tidak terkena sedekah (baca: zakat)‘ (HR. Al Bukhari 3/323)” [selesai]
Kedua: maknanya zakat, yaitu sedekah yang wajib secara khusus. Berdasarkan hadits: ‘yang kurang dari lima dzaud tidak terkena sedekah (baca: zakat)‘ (HR. Al Bukhari 3/323)” [selesai]
Perhatikan, dalam hadits tersebut
zakat disebut dengan sedekah. Syaikh Abdullah Al Faqih juga mengatakan:
فالزكاة والصدقة لفظان بينهما عموم وخصوص مطلق، أي أن أحدهما
أعم وأشمل من الآخر، وهذا الأعم هو الصدقة والزكاة أخص منها، فكل زكاة صدقة وليس
كل صدقة زكاة
“Zakat dan sedekah adalah dua kata
yang punya hubungan umum dan khusus. Yaitu, salah satunya lebih umum dari yang
lain. Yang lebih umum adalah sedekah, dan zakat lebih khusus. Setiap zakat
adalah sedekah dan tidak setiap sedekah adalah zakat” (Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=17703)
Sedekah tidak diwajibkan lafadz
ijab-qabul
Para ulama menjelaskan bahwa dalam
transaksi atau muamalah sedekah, tidak diwajibkan lafadz ijab-qabul. Cukup
menyerahkan harta yang disedekahkan kepada penerima sedekah, itu sudah sah.
Dalilnya hadits berikut
أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة فجعلها في فيه فقال رسول
الله صلى الله عليه وسلم: كخ كخ ارم بها أما علمت أنا لا نأكل الصدقة ؟
Al Hasan bin Ali mengambil sebuah
kurma dari kurma sedekah, lalu meletakkannya di mulutnya. Lalu Rasulullah
shallallahu‘alahi wa sallam berkata, “kuh.. kuh.. ayo keluarkan! Tidakkah
Engkau tahu bahwa sesungguhnya kita (keluarga Nabi) tidak memakan harta
sedekah?” (HR.
Muslim).
Al Hafidz Al Iraqi, ulama besar
madzhab Syafi’i menjelaskan hadits ini:
فيه أنه لا يشترط في كل من الهدية والصدقة الإيجاب والقبول
باللفظ بل يكفي القبض وتملك به فإن سلمان رضي الله عنه اقتصر على مجرد وضعه والنبي
صلى الله عليه وسلم إنما سأله ليتميز له الهدية المباحة عن الصدقة المحرمة عليه
ولم يوجد من النبي صلى الله عليه وسلم لفظ في قبول الهدية ، وهذا هو الصحيح الذي
عليه قرار مذهب الشافعي وقطع به غير واحد من الشافعية واحتجوا بهذا الحديث وغيره
من الأحاديث التي فيها حمل الهدايا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فيقبلها ولا
لفظ هناك قالوا وعلى هذا جرى الناس في الأعصار ولذلك كانوا يبعثون بها على أيدي
الصبيان الذين لا عبارة لهم وفي المسألة وجه لبعض أصحابنا أنه يشترط فيها الإيجاب
والقبول كالبيع والهبة والوصية وهو ظاهر كلام الشيخ أبي حامد والمتلقين عنه
“dalam hadits ini ada faidah bahwa
tidak disyaratkan lafadz ijab-qabul pada hadiah dan sedekah. Bahkan cukup
dengan menyerahkannya dan memindahkannya. Karena Salman radhi’allahu’anhu hanya
sekedar meletakkan (kurma tersebut). Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya
kepada Salman dalam rangka membedakan kurma tersebut hadiah yang mubah ataukah
sedekah yang haram (bagi beliau). Tidak ada lafadz qabul dari Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam ketika menerimanya. Inilah yang shahih, yang dipegang oleh madzhab
Asy Syafi’i dan ditegaskan oleh lebih dari satu ulama Syafi’iyyah, dan mereka
berdalil dengan hadits ini. Dan juga hadits-hadits lain yang menceritakan
tentang diberikannya hadiah kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan
beliau menerimanya tanpa mengucapkan satu lafadz pun. Dan ini lah yang terjadi
di masa Nabi ketika itu. Oleh karena itu, mereka biasa memberikan sesuatu
kepada anak kecil yang (lafadz ijab-qabul) tidak ada maknanya bagi mereka. Dan
dalam masalah ini tidak benar sisi pandang sebagian ulama madzhab Syafi’i yang
mensyaratkan lafadz ijab-qabul seperti dalam jual beli, hibah dan wasiat. Dan
ini merupakan pendapat Syaikh Abu Hamid Al Ghazali dan murid-murid beliau” (Tharhu
At Tatsrib fi Syarh At Taqrib, 4/40).
Juga dijelaskan oleh An Nawawi dalam
Raudhatut Thalibin:
أما الهبة فلا بد فيها من الإيجاب والقبول باللفظ كالبيع وسائر
التمليكات. وأما الهدية ففيها وجهان أحدهما يشترط فيها الإيجاب والقبول كالبيع
والوصية وهذا ظاهر كلام الشيخ أبي حامد والمتلقين عنه والثاني لا حاجة فيها إلى
إيجاب وقبول باللفظ بل يكفي القبض ويملك به وهذا هو الصحيح الذي عليه قرار المذهب
ونقله الإثبات من متأخري الأصحاب وبه قطع المتولي والبغوي واعتمده الروياني وغيرهم
“adapun hibah, maka wajib dengan
lafadz ijab-qabul, seperti jual-beli dan transaksi kepemilikan yang lain.
Adapun hadiah, ada dua pendapat: Pertama, disyaratkan lafadz ijab-qabul seperti
jual-beli dan wasiat. Ini yang ditegaskan Asy Syaikh Abu Hamid dan murid-murid
beliau. Kedua, tidak perlu ada lafadz ijab-qabul, bahkan cukup dengan
penyerahan dan sudah terjadi perpindahan kepemilikan. Inilah yang shahih dan
menjadi pegangan madzhab Syafi’i, dan dinukil dari para ulama besar Syafi’iyyah
muta’akhirin, dan inilah yang ditegaskan oleh Al Mutawalli, Al Baghawi, dan
dipegang oleh Ar Ruyani dan lainnya”.
Setelah itu beliau menyatakan:
الصدقة كالهدية بلا فرق فيما ذكرناه
“sedekah sama hukumnya seperti
hadiah, tidak ada perbedaan pada apa yang telah kami jelaskan”.
Ijab-Qabul terkadang dengan ucapan
terkadang dengan perbuatan
Andaikan mengikuti pendapat ulama
yang mensyaratkan adanya ijab-qabul dalam sedekah, maka ijab-qabul tidak mesti
berupa ucapan. Namun bisa juga dengan isyarat, atau dengan perbuatan yang
menunjukkan ridha dari kedua pihak. An Nawawi dalam Raudhatut Thalibin
menyatakan:
ويمكن أن يحمل كلام من اعتبر الإيجاب والقبول على الأمر المشعر
بالرضى دون اللفظ ويقال الأشعار بالرضى قد يكون لفظاً وقد يكون فعلاً
“pendapat yang mengatakan wajib ada
ijab-qabul mungkin untuk kita bawa kepada konsep bahwa ijab-qabul itu perkara
yang dapat dirasakan dengan keridhaan walaupun tidak ada lafadz yang diucapkan.
Dan dikatakan bahwa perasaan ridha itu terkadang bisa berupa perkataan,
terkadang bisa berupa perbuatan”.
Kesimpulan
Membayar zakat fithri tidak
diwajibkan adanya lafadz ijab-qabul, hukumnya sah walau tanpa lafadz
ijab-qabul. Apalagi dengan lafadz-lafadz yang ditetapkan sedemikian rupa atau
dengan tata-cara tertentu seperti bersalaman atau semisalnya, tidak ada
tuntunan demikian. Namun jika dilakukan dengan lafadz ijab-qabul, hukumnya
boleh, karena para ulama hanya menjelaskan bahwa itu tidak wajib. Dan
lafadz-nya tidak ada ketentuan, bahkan sangat fleksibel. Misalnya pembayar
zakat mengatakan, “ini pak zakat fithri dari saya“, lalu penerima zakat
menjawab, “baik mas, terima kasih“. Ini sudah merupakan lafadz
ijab-qabul.
Atau pun jika hanya ada lafadz ijab
saja dari pemberi zakat tanpa jawaban dari penerimanya, atau lafadz qabul saja
dari si penerima sedangkan yang memberi tidak berkata apa-apa, ini juga sudah
sah. Atau bahkan tanpa ada perkataan apa-apa, cukup penyerahan harta yang
dizakatkan, ini juga sah. Sebagaimana dijelaskan para ulama.
Wallahu a’lam.
Penulis: Yulian Purnama
0 comments:
Post a Comment