Idul
Fitri adalah hari yang banyak dinantikan oleh kaum muslimin. Kita dapat
melihatnya dari aktivitas mudik dan maraknya bingkisan-bingkisan istimewa yang
dijual menjelang Idul Fitri. Namun kadang kita kurang memaknai apa sih
yang ada di balik Idul Fitri? Lalu buah apa yang kita peroleh saat mendapati
hari Idul Fitri. Ini yang perlu kita renungkan.
Amalan Menjelang Idul Fitri
Idul Fitri adalah hari yang berulang
setiap tahunnya sebagai pertanda berakhirnya puasa Ramadhan. Salah satu
kewajiban yang ditunaikan menjelang Idul Fitri adalah zakat fitri. Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa
dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang
miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima
dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap
sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah.
Hasan)
Penghujung Ramadhan ini ditutup pula dengan
takbir sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al
Baqarah: 185). Takbir ini disunnahkan untuk dikumandangkan sejak berangkat dari
rumah hingga pelaksanaan shalat Idul Fitri. Dalam suatu riwayat disebutkan, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul
Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak
dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”
(Dikeluarkan dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 171)
Saling mendoakan agar amalan kita di
bulan Ramadhan diterima juga suatu hal yang dianjurkan saat hari raya. Dari
Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fitri atau Idul
Adha), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minka
(Semoga Allah menerima amalku dan amalmu).” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan
bahwa sanad hadits ini hasan (Fathul Bari, 2: 446).
Bagaimana Seharusnya
Keadaan Kita di Hari ‘Idul Fithri?
Beberapa amalan yang dijalani di
bulan Ramadhan berisi pengampunan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallambersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena
iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu akan diampuni.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Begitu pula pada amalan shalat
tarawih, di dalamnya juga terdapat pengampunan dosa. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan
(shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah
lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Barangsiapa yang menghidupkan
lailatul qadar dengan amalan shalat juga akan mendapatkan pengampunan dosa
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa
melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari
Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari)
Begitu pula pengeluaran zakat fitri
di penghujung Ramadhan, itu juga adalah sebab mendapatkan ampunan Allah. Karena
zakat fitri akan menutupi kesalahan berupa kata-kata kotor dan sia-sia.
Begitu banyak amalan di bulan
Ramadhan yang terdapat pengampunan dosa sampai-sampai Ibnu Rajab mengatakan,
“Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja
yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalangi dari
kebaikan yang banyak.” (Lathaif Al Ma’arif, 371)
Setelah kita mengetahui beberapa
amalan di bulan Ramadhan yang bisa menghapuskan dosa-dosa, maka seseorang di
hari raya Idul Fitri, ketika dia kembali berbuka (tidak berpuasa lagi)
seharusnya dalam keadaan bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya bersih dari
dosa. Az Zuhri berkata, “Ketika hari raya Idul Fithri, banyak manusia yang
akan keluar menuju lapangan tempat pelaksanaan shalat ‘ied, Allah pun akan
menyaksikan mereka. Allah pun akan mengatakan, “Wahai hambaku, puasa kalian
adalah untuk-Ku, shalat-shalat kalian di bulan Ramadhan adalah untuk-Ku,
kembalilah kalian dalam keadaan mendapatkan ampunan-Ku.” Ulama salaf
lainnya mengatakan kepada sebagian saudaranya ketika melaksanakan shalat ‘ied
di tanah lapang, “Hari ini suatu kaum telah kembali dalam keadaan
sebagaimana ibu mereka melahirkan mereka.” (Lathaif Al Ma’arif,
366). Dikatakan demikian karena sungguh amat banyak pengampunan dosa di bulan
Ramadhan.
Dari sini, seharusnya setelah Idul Fitri, seorang muslim bisa menjadi lebih
baik. Ibadah yang biasa rutin dijaga di bulan Ramadhan berusaha terus
dirutinkan semisal menjaga shalat jama’ah (bagi pria), berusaha terus shalat
malam dan giat berpuasa sunnah. Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,
”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu
akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematiannya.” Lalu Al Hasan membaca
firman Allah (yang artinya), “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al
yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99) (Lathaif Al Ma’arif, 392). Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling
dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.”
(HR. Muslim).
Khawatir Amalan Tidak Diterima
Para ulama salaf terdahulu begitu
semangat untuk menyempurnakan amalan mereka, kemudian mereka berharap-harap
agar amalan tersebut diterima oleh Allah dan khawatir jika tertolak. Merekalah
yang disebutkan dalam firman Allah (yang artinya), “Dan orang-orang yang
memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al
Mu’minun: 60)
Ibnu Diinar mengatakan, “Tidak
diterimanya amalan lebih kukhawatirkan daripada banyak beramal.” Abdul Aziz bin
Abi Rawwad berkata, “Saya menemukan para salaf begitu semangat untuk melakukan
amalan sholih. Apabila telah melakukannya, mereka merasa khawatir apakah amalan
mereka diterima ataukah tidak.” Sebagian ulama sampai-sampai mengatakan, “Para
salaf biasa memohon kepada Allah selama enam bulan agar dapat berjumpa dengan
bulan Ramadhan. Kemudian enam bulan sisanya, mereka memohon kepada Allah agar
amalan mereka diterima.”
‘Umar bin ‘Abdul Aziz berkata
tatkala beliau berkhutbah pada hari raya Idul Fithri, “Wahai sekalian manusia,
kalian telah berpuasa selama 30 hari. Kalian pun telah melaksanakan shalat
tarawih setiap malamnya. Kalian pun keluar dan memohon pada Allah agar amalan
kalian diterima. Namun sebagian salaf malah bersedih ketika hari raya Idul
Fithri. Dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya hari ini adalah hari penuh
kebahagiaan.” Mereka malah mengatakan, “Kalian benar. Akan tetapi aku adalah
seorang hamba. Aku telah diperintahkan oleh Rabbku untuk beramal, namun aku
tidak mengetahui apakah amalan tersebut diterima ataukah tidak.”
Itulah kekhawatiran para salaf.
Mereka begitu khawatir kalau-kalau amalannya tidak diterima. Namun berbeda
dengan kita yang amalannya begitu sedikit dan sangat jauh dari amalan para
salaf. Kita begitu “pede” dan yakin dengan diterimanya amalan kita. Sungguh,
teramatlah jauh antara kita dengan mereka (Lathaif Al Ma’arif, 368-369).
Semoga perjumpaan dengan Idul
Fithri, kita mendapatkan dua kebahagiaan, yaitu bahagia ketika berbuka dan
bahagia ketika berjumpa kelak dengan Allah.
Taqobbalallahu minna wa minkum
(Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan kalian).
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal,
ST.
0 comments:
Post a Comment