Bolehkah Menambah Raka’at Shalat
Tarawih Lebih dari 11 Raka’at? Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan,
mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih
dari 11 Raka’at?
Mayoritas ulama terdahulu dan ulama
belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam
tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat
nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh
mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.”[1]
Yang
membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.
Pertama,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau
menjawab,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِىَ
أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْصَلَّى
“Shalat
malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut
masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian
menutup shalat tadi dengan witir.”[2] Padahal ini dalam konteks pertanyaan.
Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam akan menjelaskannya.
Kedua,
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah
aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).”[3]
Ketiga,
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ
اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya
engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan
meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.”[4] Dalil-dalil ini dengan sangat jelas
menunjukkan bahwa kita dibolehkan memperbanyak sujud (artinya: memperbanyak
raka’at shalat) dan sama sekali tidak diberi batasan.
Keempat,
pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih
dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.
Alasan
pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana kaedah yang diterapkan dalam
ilmu ushul.
Alasan
kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah
lebih dari 11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam
di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13
raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. …
Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan
raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan,
sungguh dia telah keliru.”[5]
Alasan
ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para
sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini
diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan
shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian.
Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang
telah disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat
umum tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada
dalil yang bertentangan.
Kelima,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan
bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at
begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan
dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun
dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala
‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan
shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at.
Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang
ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada
melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.”[6]
Keenam,
manakah yang lebih utama melakukan shalat malam 11 raka’at dalam waktu 1 jam
ataukah shalat malam 23 raka’at yang dilakukan dalam waktu dua jam atau tiga
jam?
Yang
satu mendekati perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam dari segi
jumlah raka’at. Namun yang satu mendekati ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari segi lamanya. Manakah di antara kedua cara ini yang lebih baik?
Jawabannya,
tentu yang kedua yaitu yang shalatnya lebih lama dengan raka’at yang
lebih banyak. Alasannya, karena pujian Allah terhadap orang yang waktu malamnya
digunakan untuk shalat malam dan sedikit tidurnya. Allah Ta’ala berfirman,
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Di
dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz Dzariyat: 17)
وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا
“Dan
pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya
pada bagian yang panjang dimalam hari.” (QS. Al Insan: 26)
Oleh
karena itu, para ulama ada yang melakukan shalat malam hanya dengan 11 raka’at
namun dengan raka’at yang panjang. Ada pula yang melakukannya dengan 20 raka’at
atau 36 raka’at. Ada pula yang kurang atau lebih dari itu. Mereka di sini bukan
bermaksud menyelisihi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun
yang mereka inginkan adalah mengikuti maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yaitu dengan mengerjakan shalat malam dengan thulul qunut
(berdiri yang lama).
Sampai-sampai
sebagian ulama memiliki perkataan yang bagus, “Barangsiapa yang ingin
memperlama berdiri dan membaca surat dalam shalat malam, maka ia boleh
mengerjakannya dengan raka’at yang sedikit. Namun jika ia ingin tidak terlalu
berdiri dan membaca surat, hendaklah ia menambah raka’atnya.”
Mengapa
ulama ini bisa mengatakan demikian? Karena yang jadi patokan adalah lama
berdiri di hadapan Allah ketika shalat malam.[7]
Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat
Tarawih
Jadi,
shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah
raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena
inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah
pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir).
Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i,
Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya.
Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al
Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam
Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu
shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang
mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para
sahabat.”
Ad
Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang
menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu
‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di
timur dan barat.”
‘Ali
As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia
dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al
Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan
dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan
sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.”[8]
Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir.
Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois,
dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih.
Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir.
Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam
sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal
melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan jumlah raka’at yang tak
terhitung sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah, anaknya[9].[10]
Kesimpulan
dari pendapat-pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat
malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan
memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para
jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang,
maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir
3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu,
demikianlah yang terbaik.
Namun
apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang,
maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti
inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20
raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang
sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam
dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh
sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini
semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh
karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan
memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah
keliru.”[11]
Dari
penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan
bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan
sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah
melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti
imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan
shalat 23 raka’at di rumah.
Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya
Setelah
penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23
raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan
shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana
banyak dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik
shalat adalah yang lama berdirinya.”[12]
Dari
Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ
يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.”[13] Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan
hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar
khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron)
dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada
thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud.[14]
Oleh
karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan,
bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula
shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini
sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh
thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Karena ingatlah bahwa thuma’ninah
(bersikap tenang) adalah bagian dari rukun shalat.
0 comments:
Post a Comment