Islam liberal tampaknya bukan
merupakan nama baku dari satu kelompok Islam, namun hanyalah satu kategori untuk
memudahkan analisis. Sehingga orang-orang yang dikategorikan dalam Islam
liberal itu sendiri ada yang saling berjauhan pendapatnya bahkan yang satu
mengkritik tajam yang lain. Misalnjya, Ali Abdul Raziq dari Mesir yang
menulis buku Al-Islam wa Ushulul Hukm dikritik tajam oleh Rasyid Ridha
dan Dhiyauddin Rayis. Namun yang dikritik maupun pengkritiknya itu kedua belah
pihak dimasukkan dalam kategori Islam Liberal, sebagaimana ditulis dalam buku
Charles Kurzman, Liberal Islam: A Sourcebook. Padahal, di kalangan Islam
revivalis (salafi), Rasyid Ridha adalah seorang salaf, yang diakui sebagai
ulama yang menguasai Hadits pula.
Demikian pula, Dr.
Faraj Faudah[1]
(Faraq Fuda, Mesir 1945-1993) tokoh sekuler di Mesir yang mati ditembak orang,
April 1993, dan dinyatakan murtad oleh seorang ulama terkemuka di Mesir
Muhammad Al-Ghazali, oleh Kurzman dimasukkan pula dalam barisan Islam Liberal
yang menurutnya: secara tidak proporsional, menjadi korban kekerasan.
Sebagaimana Dr Muhammad Khalaf Allah (Mesir, lahir 1916) yang dalam acara debat
Islam dan Sekuler di Mesir 1992 dia jelas sebagai wakil kelompok sekuler, oleh
Kurzman dimasukkan pula dalam kelompok Islam Liberal yang teraniaya seperti Dr
Faraj Faudah. Hanya saja dia sebutkan, tidak hanya dipaksa untuk membakar
seluruh salinan karyanya, tetapi juga dipaksa untuk menegaskan kembali
keimanannya kepada Islam dan kembali memperbarui perjanjian perkawinannya.[2]
Bahkan Ahmad
Dahlan (1868-1923M) pendiri Muhammadiyah dan Ahmad Surkati ulama Al-Irsyad
gurunya Prof Dr HM Rasjidi[3]
dimasukkan pula dalam barisan Islam Liberal. Sebaliknya, Nurcholish
Madjid yang sejak tahun 1970-an mengemukakan pikiran sekularisasinya dan
dibantah oleh HM Rasjidi, dimasukkan pula dalam jajaran Islam Liberal.
Kurzman yang
alumni Harvad dan Berkeley itu menandai para tokoh Islam Liberal adalah
orang-orang yang mengadakan pembaruan lewat pendidikan, dengan memakai sistem
pendidikan non Islam alias Barat. Maka secara umum, tokoh-tokoh Islam Liberal
itu menurutnya, adalah orang-orang modernis atau pembaharu.
Secara pengkategorian untuk menampilkan analisis, Kurzman telah memilih nama
Islam Liberal sebagai wadah, tanpa menilai tentang benar tidaknya
gagasan-gagasan dari para tokoh yang tulisannya dikumpulkan, 39 penulis dari 19
negara, sejak tahun 1920-an. Namun dia memberikan pengantar tentang perjalanan
tokoh-tokoh Islam Liberal sejak abad 18, dimulai oleh Syah Waliyullah (India,
1703-1762) yang dianggap sebagai cikal bakal Islam Liberal, karena walaupun
fahamnya revival (salaf) namun menurut Kurzman, bersikap lebih humanistik
terhadap tradisi Islam adat, dibanding yang Wahabi atau kelompok
kebangkitan Islam lainnya.
Digambarkan,
orang Islam Liberal angkatan abad 18, 19, dan awal abad 20 mengakomodasi Barat
dengan kurang begitu faham seluk beluk Barat. Tetapi kaum Liberalis angkatan
setelah itu lebih-lebih sejak 1970-an adalah orang-orang yang faham
dengan kondisi Barat karena bahkan mereka keluaran Barat, Eropa dan Amerika.
Gambaran itu
perlu diselidiki pula, seberapa kemampuan mereka dalam hal ilmu-ilmu Islam pada
angkatan abad 18, 19, dan awal abad 20; dan seberapa pula kaum Liberalis yang
angkatan belakangan sampai kini.
Islam
Liberal Dimasyhurkan dengan Sebutan Pembaharu
Pengkategorian Islam
Liberal seperti yang dilakukan Kurzman itu, sebenarnya secara bentuk pemahaman
hanya satu bentuk pengelompokan yang longgar, artinya tidak mempunyai sifat
yang khusus apalagi seragam. Dilihat dari segi akomodatifnya terhadap Islam tradisi,
mereka belum tentu. Dilihat dari segi mesti berhadapan dengan revivalis
(salafi) kadang tidak juga. Buktinya, kenapa Rasyid Ridha yang digolongkan
salafi oleh kaum salaf dimasukkan pula dalam Islam Liberal. Demikian pula Ahmad
Surkati dan Ahmad Dahlan yang dianggap “musuh” NU (Nahdlatul Ulama/ Islam
tradisi) dimasukkan dalam Islam Liberal pula.
Namun, penyebutan
Islam Liberal yang dipakai Kurzman itu justru agak mendekati kepada realitas
pemahaman, dibanding apa yang dilakukan oleh Dr Harun Nasution yang tentunya
dijiplak juga dari Barat[4],
kemudian bukunya jadi materi pokok di IAIN dan perguruan tinggi Islam
se-Indonesia. Harun Nasution ataupun kurikulum di IAIN menamakan seluruh
tokoh Islam Liberal itu dengan sebutan kaum Modernis atau Pembaharu, dan
dimasukkan dalam mata kuliah yang disebut aliran-aliran modern dalam Islam.
Yaitu membahas apa yang disebut dengan pemikiran dan gerakan pembaruan dalam
Islam. Kemudian istilah yang dibuat-buat itu masih dikuat-kuatkan lagi
dengan istilah bikinan yang mereka sebut Periode Modern dalam Sejarah Islam.
Pemerkosaan seperti itu diwujudkan dengan menampilkan buku, di antaranya Harun
Nasution menulis buku yang biasa untuk referensi di seluruh IAIN dan perguruan
tinggi Islam di Indonesia, Pembaharuan dalam Islam –Sejarah dan Gerakan,
terbit pertama 1975. Dalam buku itu, pokoknya hantam kromo, semuanya
adalah pembaharu atau modernis. Sehingga yang revivalis (salafi) seperti
Muhammad bin Abdul Wahab yang mengembalikan Islam sebagaimana ajaran awalnya
ketika zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, sampai yang
menghalalkan dansa-dansa campur aduk laki perempuan seperti Rifa’at
At-Thahthawi (Mesir) semuanya dikategorikan dalam satu nama yaitu kaum
Modernis.
Mendiang Prof Dr Harun
Nasution alumni MMcGill Canada yang bertugas di IAIN Jakarta itu pun
memuji Rifa'at Thahthawi (orang Mesir alumni Prancis) sebagai pembaharu
dan pembuka pintu ijtihad (Pembaharuan dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, hal 49).
Padahal, menurut Ali
Muhammad Juraisyah dosen Syari'ah di Jami'ah Islam Madinah,
Rifa'at Thahthawi itu alumni Barat yang paling
berbahaya. Rifa'at Thahthawi tinggal di Paris 1826-1831M yang
kemudian kembali ke Mesir dengan bicara tentang dansa yang ia lihat di
Paris bahwa hanya sejenis keindahan dan kegairahan muda, tidaklah fasik
berdansa itu dan tidaklah fasik (tidak melanggar agama) berdempetan badan
(dalam berdansa laki-perempuan itu, pen).
Ali Juraisyah berkomentar:
Sedangkan Rasulullah SAW bersabda:
لكل بني آدم حظ من الزنا: فالعينان تزنيان وزناهما النظر،
واليدان تزنيان وزناهما البطش، والرجلان تزنيان وزناهما المشي، والفم يزني وزناه
القبل، والقلب يهوي ويتمنى، والفرج يصدق ذلك أو يكذبه.
Artinya: "Setiap bani Adam ada potensi
berzina: maka dua mata berzina dan zinanya
melihat, dua tangan berzina dan zinanya memegang, dua
kaki berzina dan zinanya berjalan, mulut berzina dan berzinanya
mencium, hati berzina dan berzinanya cenderung dan mengangan-angan, sedang
farji/ kemaluan membenarkan yang demikian itu atau
membohongkannya.” (Hadits Musnad Ahmad juz 2 hal 243,
sanadnya shohih, dan hadits-hadits
lain banyak, dengan kata-kata yang berbeda namun maknanya sama).
Pencampuradukan yang
dilakukan Harun Nasution --antara tokoh yang memurnikan Islam dan yang
berpendapat melenceng dari Islam-- dalam bukunya ataupun kurikulum perkuliahan
itu memunculkan kerancuan yang sangat dahsyat, dan paling banter dalam perkuliahan-perkuliahan
hanya dibedakan, yang satu (revivalis/ salafi, pemurni Islam) disebut sebagai
kaum modernis, sedang yang lain, yang menerima nasionalisme, demokrasi, bahkan
dansa-dansi, disebut Neo Modernis.
Kerancuan-kerancuan
semacam itu, baik disengaja atau malah sudah diprogramkan sejak mereka belajar
di Barat, sebenarnya telah mencampur adukkan hal-hal yang bertentangan satu
sama lain, dijadikan dalam satu wadah dengan satu sebutan: Modernis atau
Pembaharu. Baik itu dibikin oleh ilmuwan Barat yang membuat kategorisasi
ngawur-ngawuran itu berdisiplin ilmu sosiologi seperti Kurzman, maupun orang
Indonesia alumni Barat yang lebih menekankan filsafat daripada syari’at
Islam (di antaranya dengan mempersoalkan tentang siksa di hari kiamat)[6]
seperti Dr Harun Nasution, mereka telah membuat sebutan atau kategorisasi yang
tidak mewakili isi. Dan itu menjadi fitnah dalam keilmuan, sehingga
terjadi kerancuan pemahaman, terutama menyangkut masalah “pembaharuan” atau tajdid.
Karena, tajdid itu sendiri adalah direkomendasi oleh Nabi saw bahwa
setiap di ujung 100 tahun ada seorang mujaddid (pembaharu) dari umatnya.
إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها
دينها.( رواه أبو داود).
“Sesungguhnya Allah senantiasa
akan membangkitkan untuk umat ini pada setiap akhir seratus tahun (satu abad),
orang yang akan memperbarui agamanya.”
(Hadis dari Abu Hurairah, Riwayat Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi, mereka menshahihkannya, dan juga dishahihkan oleh Al’Iraqi, Ibnu Hajar, As-Suyuthi, dan Nasiruddin Al-Albani).
(Hadis dari Abu Hurairah, Riwayat Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi, mereka menshahihkannya, dan juga dishahihkan oleh Al’Iraqi, Ibnu Hajar, As-Suyuthi, dan Nasiruddin Al-Albani).
Kalau
orang yang menghalalkan dansa-dansi campur aduk laki perempuan model di
Prancis, yaitu Rifa’at At-Thahthawi di Mesir, justru dikategorikan sebagai
pembaharu atau mujaddid, bahkan dianggap sebagai pembuka pintu ijtihad,
apakah itu bukan fitnah dari segi pemahaman ilmu dan bahkan dari sisi ajaran
agama?
Padahal, menurut kitab Mafhuum Tajdiidid Dien oleh Busthami
Muhammad Said, pembaharuan yang dimaksud dalam istilah tajdid itu adalah
mengembalikan Islam seperti awal mulanya. Abu Sahl Ash-Sha’luki mendefinisikan
tajdid dengan menyatakan, “Tajdiduddin ialah mengembalikan Islam seperti pada
zaman salaf yang pertama.”[7]
Atau menghidupkan sunnah dalam Islam yang sudah mati di masyarakat. Jadi
bukannya mengadakan pemahaman-pemahaman baru apalagi yang aneh-aneh yang tak
sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan adapun menyimpulkan hukum sesuai
Al-Qur’an dan As-Sunnah mengenai hal-hal baru, itu namanya ijtihad. Jadi yang
diperlukan dalam Islam adalah tajdid dan ijtihad, bukan pembaharuan dalam arti
mengakomodasi Barat ataupun adat sesuai selera tanpa memperhatikan landasan
Islam.
[1] Dr. Faraj Faudah (Faraq Fuda 1945-1993) adalah wakil dari
kelompok sekuler bersama Dr Muhammad Khalaf Allah dalam menghadapi
wakil kelompok Islam yaitu Syekh Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Al-Ma’mun
Al-Hudaibi, dan Dr Muhammad Imarah dalam acara debat Islam dan Sekuler yang
kedua, 1992. Debat pertama dilaksanakan 1987M/ 1407H, pihak Islam diwakili
Syekh Muhammad Al-Ghazali dan Dr Yusuf Al-Qaradhawi berhadapan dengan pihak
sekuler yang diwakili Dr Fuad Zakaria. Kemudian dalam kasus terbunuhnya Dr
Faraj Faudah April 1993, Syekh Muhammad Al-Ghazali didatangkan di pengadilan
sebagai saksi ahli (hukum Islam), Juli 1993 di Mesir. Kesaksian Syekh Muhammad
Al-Ghazali cukup membuat kelabakan pihak sekuler, karena menurut Syekh Muhammad
Al-Ghozali, sekuler itu hukumnya adalah keluar dari Islam. (Lihat Hartono Ahmad
Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1994M/
1415H, halaman 89).
[2] Charles Kurzman (ed), Liberal Islam: A Sourcebook, terejemahan
Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Wacana Islam Liberal, Paramadina, Jakarta,
2001, hal xxix.
[3] Menteri Agama RI pertama, dulu bernama Saridi, lalu diubah
oleh gurunya –Syekh Ahmad Surkati-- waktu sekolah di Al-Irsyad, menjadi
Rasyidi. Lihat buku 70 Tahun HM Rasyidi.
[4] Karena menurut almarhum Dr Peunoh Dali guru besar IAIN
Jakarta, Pak Harun Nasution itu adalah orang yang kagum terhadap Barat
[6] Ketika Dr Harun Nasution melontarkan pendapatnya yang
mempersoalkan adanya siksa di hari akhir kelak, tahun 1985-an, dan dibantah
orang di antaranya HM Rasjidi, saya sebagai wartawan menanyakan kepada Dr
Quraish Shihab dalam satu perjalanan Jakarta- Palembang. Jawab Dr Quraish
Shihab, kalau yang dimaskud siksa itu penganiayaan yaitu kedhaliman Allah
terhadap hambaNya, itu ya tidak ada. Tetapi kalau siksa itu adzab sebagai
balasan perbuatan dosa, ya tentu saja ada. Jawaban itu tadi agak
mengagetkan saya, dan baru sembuh kekagetan saya ketika penggalan akhir dia
ucapkan. Namun ada jawaban yang lebih mengagetkan saya. Ketika Porkas (judi
lotre nasional masa Soeharto) baru muncul, saya bertanya kepada Prof KH Ibrahim
Hosen, LML, Ketua Komisi Fatwa MUI/ Majelis Ulama Indonesia, bagaimana
tanggapan beliau tentang dimunculkannnya Porkas oleh pemerintah itu. Sambil
siap-siap masuk ke dalam mobil di halaman Masjid Istiqlal Jakarta, beliau
berkata: Anda jangan tanya tentang yang kecil-kecil seperti itu. Porkas itu
masalah kecil. Tanyakan masalah yang besar kepada orang yang mengatakan bahwa
di akherat nanti tidak ada siksa. Itu masalah besar, ucap Pak Ibrahim Hosen
sambil masuk ke dalam mobil. Dalam perjalanan waktu, ternyata Porkas yang
beliau sebut masalah kecil itu menjadi masalah besar secara nasional selama
bertahun-tahun. Masyarakat banyak yang melarat dan gila. Di jalan-jalan banyak
orang yang menanyakan nomor lotre kepada orang-orang gila. Di mana-mana banyak
sonji alias dukun-dukun tebak angka lotre. Di tempat-tempat yang mereka anggap
keramat jadi tempat “peribadahan” pemburu nomor judi lotre yang belakangan
namanya diubah jadi SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Saya pikir, masalah
kecil saja kalau dibiarkan, dan tidak diharamkan oleh MUI sejak awal, tahu-tahu
jadi besar dan menjadi musibah aqidah umat Islam se- Indonesia. Apalagi pikiran
sesat yang disebut masalah besar oleh Pak Ibrahim Hosen yang menganggap kecil
masalah Porkas itu tadi.
[7] Busthami Muhammad Sa’id, Mafhum Tajdiduddin, terjemahan
Ibnu Marjan dan Ibadurrahman, Gerakan Pembaruan Agama: Antara Modernisme dan
Tajdiduddin, PT Wacana Lazuardi Amanah, Bekasi, cetakan pertama, 1416H/
1995M, hal 15.
0 comments:
Post a Comment