BERILMU
Seorang da’i haruslah
memiliki ilmu tentang apa yang ia dakwahkan di atas ilmu yang shahih
yang berangkat dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam. Karena setiap ilmu yang diambil dari selain Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah, wajib diteliti terlebih dahulu. Setelah menelitinya,
maka dapat menjadi jelas apakah ilmu tersebut selaras ataukah menyelisihi
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Apabila selaras maka diterima dan apabila
menyelisihi maka wajib menolaknya tidak peduli siapapun yang
mengucapkannya.
Telah tetap sebuah
riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau
berkata :
يوشك أن
تنزل عليكم حجارة من السماء أقول: قال رسول الله وتقولون: قال أبو بكر وعمر
“Sungguh nyaris kalian
ditimpa hujan batu dari langit. Saya mengatakan sabda Rasulullah, kalian
malah menjawab dengan ucapan Abu Bakr dan ’Umar.”
Apabila pada ucapan Abu
Bakr dan ’Umar yang menyelisihi ucapan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa
Salam saja (diancam) seperti ini, lantas bagaimana menurut anda dengan
ucapan orang yang keilmuan, ketakwaan, persahabatan dan kekhilafahannya di
bawah keduanya (Abu Bakr dan ’Umar)?!
Sesungguhnya, menolak
ucapan orang yang menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
’alaihi wa Salam adalah suatu hal yang lebih utama. Alloh Azza wa Jalla telah
berfirman :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَـالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن
تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
”Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa fitnah
atau ditimpa azab yang pedih.” (QS an-Nuur : 63)
Imam
Ahmad rahimahullahu berkata :
أتدري
ما الفتنة؟ الفتنة الشرك، لعله إذا ردّ بعض قوله أن يقع في قلبه شيء من الزيغ
فيهلك
”Apakah
anda tahu apa yang dimaksud dengan fitnah (dalam ayat di atas, pent.)?
fitnah adalah syirik. Bisa jadi ketika ia menolak sebagian ucapan
Rasulullah akan masuk ke dalam hatinya sesuatu kesesatan yang pada akhirnya
akan membinasakannya.”
Sesungguhnya,
bekal pertama yang seharusnya seorang da’i di jalan Alloh mempersiapkannya
adalah, ia harus berada di atas ilmu yang diambil dari Kitabullah Ta’ala
dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ’alaihi wa Salam yang shahih
lagi maqbul (diterima). Adapun dakwah tanpa ilmu maka sesungguhnya
ini termasuk dakwah di atas kejahilan, dan berdakwah di atas kejahilan itu
madharatnya lebih besar dibandingkan manfaatnya. Karena da’i yang berdakwah
di atas kejahilan ini, menempatkan dirinya sebagai seorang yang mengarahkan
dan membimbing.
Apabila
ia orang yang jahil, maka dengan melakukan dakwah seperti ini (di atas
kejahilan), dapat menyebabkannya sesat dan menyesatkan, wal’iyadzubillah.
Kejahilannya ini akan menjadi jahlul murokkab (kebodohan yang
bertingkat) sedangkan jahlul murokkab itu lebih buruk dibandingkan jahlul
basith. Karena jahlul basith itu dapat menahan pelakunya dan
tidak akan berbicara, dan bisa jadi ia dapat menghilangkan kejahilannya
dengan belajar. Tetapi, yang menjadi sumber segala permasalahan adalah
keadaan orang yang jahil murokkab, karena orang yang jahil
murokkab ini tidak mau diam, ia akan terus berbicara walaupun dari
kejahilannya. Pada saat itulah ia menjadi orang yang lebih banyak
membinasakan daripada menerangi.
Saudaraku
sekalian, sesungguhnya berdakwah ke jalan Alloh tanpa diiringi dengan ilmu
itu menyelisihi tuntunan Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam dan orang
yang mengikuti beliau. Dengarkanlah firman Alloh Ta’ala yang
memerintahkan Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam dalam
firman-Nya berikut :
قُلْ
هَـذِهِ سَبِيلِى أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ
اتَّبَعَنِى وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَآ أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
”Katakanlah:
"Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashiroh (hujjah yang nyata). Maha
Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".” (QS
Yusuf : 108)
Firman-Nya
: ” Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah di
atas bashiroh (hujjah yang nyata)”, artinya adalah : orang yang
mengikuti beliau Shallallahu ’alaihi wa Salam, wajib atasnya
berdakwah mengajak kepada Alloh di atas bashiroh, tidak di atas
kejahilan.
Renungkanlah
wahai para da’i firman Alloh ”di atas bashiroh”, yaitu di atas bashiroh
pada tiga hal :
Pertama : di atas bashiroh terhadap apa yang di dakwahkan, yaitu ia
haruslah memiliki ilmu (baca : mengetahui) tentang hukum syar’i yang ia
dakwahkan. Karena bisa jadi ia mengajak kepada sesuatu yang ia duga sebagai
suatu hal yang wajib sedangkan di dalam syariat tidaklah wajib, sehingga ia
mengharuskan hamba-hamba Alloh sesuatu yang Alloh tidak mengharuskannya.
Bisa jadi pula ia mengajak untuk meninggalkan sesuatu yang ia anggap haram
sedangkan hal itu di dalam agama Alloh tidaklah haram, sehingga ia telah
mengharamkan bagi hamba-hamba Alloh sesuatu yang Alloh halalkan bagi
mereka.
Kedua : di atas bashiroh terhadap kondisi dakwah (baca : kondisi
obyek dakwah, pent.), oleh karena itulah Nabi Shallallahu
’alaihi wa Salam tatkala mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan
padanya :
إنك
ستأتي قوماً أهل كتاب
”Sesungguhnya
engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab”1
Supaya
dia (Mu’adz) mengetahui kondisi mereka dan bersiap-siap di dalam menghadapi
mereka.
Oleh
karena itulah kondisi mad’u (obyek dakwah) ini haruslah diketahui,
sejauh mana tingkat pengetahuan mereka? Sejauh mana kemampuan mereka untuk
debat? Sehingga ia dapat mempersiapkan dirinya untuk berdiskusi dan
berdebat dengan mereka. Karena sesungguhnya, apabila anda memasuki
perdebatan dengan orang seperti ini (baca : yang lebih berilmu dan pandai
debat sedangkan anda tidak mengetahuinya, pent.), sedangkan dia
lebih tangguh di dalam berdebat, maka hal ini akan menjadi bencana yang
besar terhadap kebenaran, dan andalah penyebab ini semua.
Anda
jangan pernah sekali-kali beranggapan bahwa para pelaku kebatilan pasti
gagal di dalam segala hal, padahal Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa
Salam bersabda :
إنكم
تختصمون إليّ ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض فأقضي له بنحو ما أسمع
”Sesungguhnya
kalian bertikai dan datang melapor kepadaku, dan bisa jadi ada sebagian
dari kalian yang lebih lihai di dalam mengemukakan hujjahnya daripada yang
lainnya sehingga aku memutuskannya berdasarkan apa yang aku dengar.”2
Hadits
ini menunjukkan bawah seorang yang bertikai, walaupun ia seorang yang
batil, terkadang ia lebih cakap di dalam mengemukakan hujjahnya daripada
orang lain, sehingga diputuskan berdasarkan apa yang didengar dari orang
yang bertikai ini, oleh karena itulah anda harus mengetahui kondisi mad’u.
Ketiga : di atas bashiroh di dalam cara berdakwah. Alloh Ta’ala
berfirman :
ادْعُ
إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
وَجَـدِلْهُم بِالَّتِى هِىَ أَحْسَنُ
”Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl : 125).
Sebagian
manusia, acap kali ketika menjumpai suatu kemungkaran, ia langsung
terburu-buru main sikat. Ia tidak berfikir akan dampak dan akibat
perbuatannya ini, tidak hanya bagi dirinya, namun juga bagi dirinya dan
rekan seperjuangannya sesama da’i yang menyeru kepada kebenaran. Oleh
karena itulah, wajib bagi seorang da’i sebelum ia bergerak (untuk
berdakwah), hendaknya ia mencermati dan menimbang dampak-dampaknya. Kadang
kala, dapat juga terjadi pada waktu itu, sesuatu yang tidak hanya akan
memadamkan kobaran semangat atas aktivitasnya (baca : dakwahnya), namun
perbuatannya ini juga akan memadamkan api semangatnya dan semangat orang
selainnya di masa yang akan datang, mungkin dalam waktu dekat tidak lama
lagi. Oleh karena itulah, aku menganjurkan saudara-saudaraku agar berdakwah
dengan menggunakan hikmah dan ta`anni (baca : tenang, tidak
tergesa-gesa), suatu perkara yang mungkin akan menunda waktu barang
sedikit, namun hasilnya akan terpuji dengan kehendak Alloh Ta’ala.
Apabila
hal ini, maksudku da’i yang berbekal dengan ilmu shahih yang
dibangun di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa
Salam, merupakan sesuatu yang ditunjukkan oleh nash-nash syar’iyyah,
maka sesungguhnya (hal ini) juga ditunjukkan oleh akal yang sharih
(terang) yang tidak memiliki syubhat maupun syahwat. Karena bagaimana
mungkin anda dapat berdakwah menyeru kepada Alloh Jalla wa ’Ala
sedangkan anda tidak mengetahui jalan yang dapat mengantarkan kepada-Nya.
Anda tidak mengetahu syariat-Nya lantas bagaimana bisa dibenarkan anda
menjadi seorang da’i? Apabila seorang manusia tidak memiliki ilmu, maka
yang utama baginya adalah belajar terlebih dahulu, baru kemudian ia boleh
berdakwah.
Mungkin
akan ada yang berkata : ”Bukankah ucapan anda ini menyelisihi ucapan Nabi Shallallahu
’alaihi wa Salam :
بلغوا عني ولو آية
”Sampaikan dariku walaupun hanya satu
ayat.”3
Maka
saya jawab : tidak. Karena Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam
bersabda : ”Sampaikan dariku”, oleh karena itulah sesuatu yang kita
sampaikan haruslah benar-benar dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa
Salam. Dan inilah yang kami maksudkan. Pada saat kami mengatakan bahwa
da’i itu memerlukan ilmu, kami bukanlah memaksudkan bahwa ia haruslah
mencapai tingkatan orang yang ahli di dalam ilmu, namun kami mengatakan
bahwa ia tidak boleh berdakwah melainkan dengan apa yang ia ketahui saja
dan tidak boleh berkata melainkan dengan yang ia ketahui.
|
0 comments:
Post a Comment